Mohon tunggu...
Taufik hdyt_
Taufik hdyt_ Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASANTRI

STIABI rIYADHLULULUM

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencari Esensi Kebahagiaan, Dialog Plato dan Al-Farabi

20 April 2021   16:41 Diperbarui: 20 April 2021   17:04 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seseorang tidak cukup hanya paham dan sadar akan kebahagiaan, tetapi ia juga harus menginginkan dan menjadikan kebahagiaan sebagai bagian penting dalam hidup. Ketika seseorang paham teorinya dan sadar akan pentingnya kebahagiaan, itu belumlah cukup karena tanpa diaplikasikan atau dipraktikkan tidak akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan, sehingga ada jarak antara pemahaman dan praktik.

Paham dan praktiknya harus menjadi satu kesatuan dan tidak boleh berdiri sendiri. Begitu juga ketika seseorang menjalankan sesuatu hal yang tidak dipahaminya maka akan menghasilkan perbuatan yang keliru yang akan menghilangkan esensi dari perbuatan tersebut.

Kritisnya Plato Soal Kebahagiaan

Plato berpikir soal banyaknya manusia yang tahu apa itu bahagia,  namun kurag memahami arti bahagia sesungguhnya. Hingga tersisalah yang mereka ketahui bahagia hanya sebatas Kenikmatan-kenikmatan sementara. Tak ayal didapatkan dengan menghalalkan segala cara dan menggunakan cara-cara keliru. Maka konsekuensinya hanya akan merugikan diri sendiri.

Tak terbayangkan kritik Plato ribuan tahun lalu kini masih relevan bahkan menggurita. Manusia lebih dari kritiknya, semakin rakus akan kenikmatan sementara dengan beribu cara, baik atau buruk. Itulah mengapa definisi kebahagiaan perlu di-redefinisikan ulang dan dikaji kembali.

Pemikiran Plato menarik, karena ia seorang filsuf dan Matematikawan besar di Athena pada masa peradaban Yunani kuno yang hidup sekitar 428-347 SM. Plato juga merupakan murid dari seorang filsuf terbesar,  yaitu Socrates, yang mana pemikirannya tidak kalah menarik.

Dhiman dalam tulisannya Being Good and Being Happy: Eudaimonic Well-Being Insights from Socrates, Plato, and Aristotle, mengatakan  bahwa Kebahagiaan merupakan keadaan kesejahteraan yang bertahan lama dan mencakup kehidupan yang baik, yaitu kehidupan yang dipandu oleh penalaran moral, kehidupan yang diresapi dengan arti dan bertujuan untuk kebahagiaan orang lain, bukan  perasaan gembira sekilas tetapi lebih merupakan keadaan kebahagiaan yang berasal dari menjalani kehidupan yang layak dijalani.

Ketika seseorang melakukan kebaikan dan tidak menemukan kebahagiaan maka ada kesalahpahaman dalam pengetahuan pada orang tersebut, misalnya ketika seseorang jujur tetapi malah membuat orang tersebut sumpek dan membuat rumit hidupnya maka ada kekeliruan dalam pemahaman tentang kejujuran dan hakikat kebahagiaan dari kejujuran tersebut karena seharusnya kejujuran dapat menghasilkan kebahagiaan.

Al-Farabi tentang Kebahagiaan

Jika konsep kebahagiaan menurut Plato lebih bersifat individual, maka Al-Farabi memiliki konsep kebahagiaan yang lebih bersifat sosial. Kebahagiaan sosial bisa menjadi sumber kebahagiaan individual dan kebahagiaan sosial bisa didapatkan dengan bantuan faktor individu-individu lain.

Kebahagiaan sosial berasal  dari kebahagiaan individu yang artinya kebahagiaan sosial akan tercapai bila ada kebahagiaan yang dirasakan secara individu. Salah satu cara mewujudkan kebahagiaan sosial adalah dengan cara saling bekerja sama demi mencapai kebahagiaan bersama atau sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun