Hampir tak bisa dipungkiri konflik yang semakin memanas di tengah masyarakat akhir-akhir ini turut dipengaruhi oleh penggunaan teknologi internet. Debat kusir online tak berujung di media sosial, terkadang dihiasi bumbu tak sedap cemoohan yang berlanjut ke diskusi offline di meja hijau. Sebagian masyarakat sebenarnya sudah mawas diri terhadap berbagai aspek keamanan, privasi, dan hukum dari penggunaan media sosial. Namun demikian, media sosial sebenarnya bukanlah satu-satunya kontributor yang mempengaruhi sentimen di masyarakat.
Selain perkembangan pesat media sosial di kurang lebih sepuluh tahun terakhir, sebenarnya mesin pencari seperti Google sudah terlebih dahulu mengubah perilaku pengguna internet. Sebelum era mesin pencari, seorang pengguna biasanya mencatat (bookmark) situs-situs yang mereka butuhkan atau sukai. Namun, saat ini hal tersebut nyaris tidak lagi dilakukan. Perubahan perilaku pengguna internet yang cenderung menggantungkan diri dari hasil pencarian ini awalnya tidak terlalu membawa pengaruh signifikan di kehidupan sosial masyarakat. Dampak yang signifikan timbul ketika media sosial dan mesin pencari seperti Google mulai berinteraksi.
Media Sosial dan Mesin Pencari
Awal kesuksesan mesin pencari Google diawali dengan algoritma PageRank yang mempertimbangkan isi serta tautan dari-dan-ke halaman suatu situs. Karena Google dapat melakukan pencarian dengan cepat pada data yang sangat besar, tidak butuh waktu lama untuk perusahaan IT tersebut untuk meraih sukses hingga saat ini. Namun demikian, banyak pemilik situs nakal (biasa disebut sebagai black hats) yang mengambil jalan pintas untuk memanipulasi mesin pencari agar menampilkan situs mereka di urutan teratas. Dampak langsung dari hal ini adalah hasil pencarian yang bisa jadi tidak lagi relevan dengan apa yang dicari oleh pengguna.
Untuk mengantisipasinya, Google senantiasa memperbarui algoritma pencariannya agar hasil pencarian tetap reliabel. Terhitung mulai Juni 2005, Google menggunakan informasi personal sebagai faktor penentu hasil pencarian. Riwayat pencarian pengguna digunakan untuk mempertajam hasil pencarian. Tahap ini adalah awalan bagaimana kelak mesin pencari memengaruhi kehidupan sosial penggunanya. Dampak mesin pencari ke kehidupan sosial semakin dirasakan ketika pada Agustus 2008 Google memperkenalkan saran kata pencarian. Sistem ini pada Oktober 2016 kemarin sempat menggegerkan Indonesia, karena Google menyarankan bahwa “sungai bersih karena Ahok” (Basuki Tjahaja Purnama).
Namun demikian, sebenarnya ada hal yang lebih berdampak namun laten dari sistem pencarian personal ini. Sejak Desember 2010, Google mulai menggunakan data sentimen seseorang dari media sosial seperti Twitter dan Facebook sebagai pertimbangan hasil pencarian. Dikombinasikan dengan penggunaan kecerdasan buatan di Oktober 2015 (diberi nama Rankbrain) semakin memperkuat peran mesin pencari sebagai salah satu faktor penentu sentimen di masyarakat.
Preferensi dan Bukan Kebutuhan
Dengan perkembangan algoritma seperti yang telah dijabarkan sebelumnya, mengapa hasil pencarian dapat mempengaruhi sentimen masyarakat? Mudahnya mari kita gunakan ilustrasi sederhana. Misal, pengguna media sosial A dan B berdebat di media sosial tentang suatu topik. Untuk mendukung argumen masing-masing, biasanya mereka menyertakan tautan dari suatu situs tertentu. Tautan ini kemungkinan besar didapatkan dari mesin pencari. Padahal mesin pencari tersebut menggunakan sentimen sang pengguna, kawan media sosial, dan history pencarian sebelumnya untuk menentukan hasil pencarian. Hal ini mengakibatkan seorang pengguna untuk mendapatkan hasil pencarian yang mereka inginkan (subjektif) ketimbang apa yang mungkin mereka butuhkan (sesuatu yang lebih objektif). Karena tautan demi tautan yang disajikan cenderung dari preferensi pengguna masing-masing, maka diskusi-pun akan semakin sulit mencapai kata sepakat.
Beberapa analisa kemenangan Donald Trump akhir-akhir ini di pemilihan presiden Amerika Serikat juga disinyalir terkait dengan hal yang sama. Beberapa pakar menduga tim sukses Hillary Clinton kurang mempertimbangkan isu Wikileaks yang sebenarnya menjadi perbincangan hangat di masyarakat. Namun, ada tim sukses Hillary sepertinya mengisolasi sumber informasi hanya dari beberapa sumber yang mereka sukai saja.
Permasalahan isolasi informasi ini semakin pelik ketika semakin banyak situs tidak bertanggung jawab yang sering menyebar fitnah, hoax, atau memancing emosi masyarakat bermunculan. Hal ini terjadi di Amerika Serikat dan juga Indonesia, hingga akhirnya Google, Twitter, dan Facebook memutuskan untuk secara khusus mulai serius menangani masalah situs berita palsu ini. Di Tanah Air, pemerintah sudah mengambil tindakan dengan memblokir beberapa situs tertentu. Namun, hal ini tak luput dari protes sebagian masyarakat karena mereka menduga pemerintah timbang pilih dan salah sasaran dalam melakukan pemblokiran.
Permasalahan isolasi informasi oleh pengguna internet tentu saja tidak luput dari kajian para ahli di bidang terkait. Sebut saja Eli Pariser, seorang aktivis internet terkemuka yang mengemukakan kehawatirannya akan pencarian personal yang ia istilahkan dengan filter bubble. Filter bubble adalah suatu isolasi informasi dari seorang pengguna internet berdasarkan ideologi atau keyakinannya akibat adanya personalisasi pencarian. Di sisi lain James Grimmelmann dari New York Law School justru berpendapat bahwa personalisasi pencarian dibutuhkan untuk menghasilkan hasil pencarian yang lebih diinginkan dan terhindar dari hasil yang menyimpang karena ulah para black hats. Sedangkan Engin Bozdag dari Delft University of Technology mengemukakan bahwa masalahnya mungkin tidak sesederhana antara personalisasi atau tidak, begitu banyak pertanyaan terbuka yang harus diteliti lebih lanjut untuk kemudian menentukan solusi yang paling optimal.