Di usia dua puluhan, hidup terasa seperti pesta tanpa akhir --- sebuah lagu jazz yang terus mengalun dengan ritme bebas, memanggil siapa saja untuk ikut berdansa. Hari-hari berlalu begitu saja, tanpa beban yang menggerogoti pikiran.Â
Bangun siang tak dianggap dosa, nongkrong sampai matahari terbit adalah rutinitas mulia. Teman-teman berbaris di daftar pesan seperti koran pagi: selalu ada, selalu siap. Tak ada yang menuntut, tak ada janji yang harus ditepati selain janji ketemu di kafe favorit jam sembilan malam, meskipun akhirnya datang jam sebelas.
Kini, di usia 33 tahun, hidup seakan berubah menjadi novel realisme magis yang absurd --- semua orang tampaknya menuntut peran utama dalam ceritamu. Kamar yang dulu penuh poster band dan tiket konser kini berubah jadi gudang popok dan boneka.Â
Meja kerjamu tidak lagi dihiasi kopi dingin dari malam sebelumnya, tapi tumpukan buku pelajaran dan rencana pembelajaran harian. Tiba-tiba, malam-malam panjang bukan lagi tentang menyusuri jalanan kota bersama teman, tapi tentang mengganti popok Katrina yang basah atau menenangkan tangisannya tepat di pukul dua pagi.
Oh, betapa indahnya dua puluhan! Waktu itu, hidup terasa tanpa gravitasi ---kamu melompat dari satu kafe ke kafe lain, dari satu kota ke kota lain, tanpa perlu memikirkan cicilan atau tagihan listrik.Â
Kerja hanyalah cara untuk mendapatkan cukup uang buat liburan atau membeli gawai terbaru. Tak ada yang menghitung jam kerja atau mengecek saldo tabungan untuk memikirkan masa depan. Masa depan? Ah, itu hanya teka-teki yang bisa ditunda.
Dan cinta? Cinta di usia muda seperti lagu pop ---ringan, menyenangkan, tapi mudah dilupakan. Tidak ada urgensi untuk membicarakan pernikahan atau memikirkan berapa biaya yang dibutuhkan untuk membesarkan seorang anak. Putus cinta? Tidak masalah, selalu ada teman yang siap mendengar keluhanmu sampai pagi, diiringi kopi hitam dan, obrolan ringan soal hidup yang seolah tak punya akhir.
Tapi dua puluhan itu juga licik. Ia membuatmu merasa seolah kebebasan akan bertahan selamanya. Seakan-akan kamu tak akan pernah lelah, tak akan pernah harus berhadapan dengan realitas yang datang tanpa aba-aba. Hingga akhirnya, angka itu berubah. Tiga puluh menyambutmu dengan pelukan yang dingin tapi nyata, dan kamu tersadar: pesta itu berakhir, sobat.
Usia 33 bukan lagi soal memilih tempat nongkrong, tapi soal menghitung berapa liter air galon yang harus dibeli supaya cukup hingga akhir minggu. Sekarang, alarm di pagi hari bukan lagi musuh, tapi penolong ---penanda bahwa hari baru dimulai dan tanggung jawab harus dijalankan. Kamu bangun bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk anak, pasangan, dan pekerjaan.
Setelah menikah dan punya anak, waktu menjadi mata uang paling berharga. Jadwal nongkrong bersama teman semakin jarang dan terasa seperti sebuah kemewahan. Bahkan jika ada undangan hangout, pikiranmu lebih sibuk menghitung: Besok ada jadwal mengajar pukul tujuh pagi, popok Katrina tinggal lima lembar, listrik belum dibayar, dan cicilan rumah jatuh tempo lusa. Nongkrong akhirnya hanya tinggal rencana yang baik ---seperti novel yang tak pernah selesai dibaca, karena setiap kali memulai, ada tugas lain yang mendesak.
Dulu, bekerja hanya bagian kecil dari hidup; kini, bekerja menjadi jangkar yang menahan segalanya tetap stabil. Sebagai guru, tugasmu tak hanya mengajar, tapi juga mendidik, mempersiapkan materi, dan mendampingi peserta didik. Ada momen-momen ketika kamu merasa jiwamu lelah, tapi tak ada pilihan untuk berhenti. Gaji datang di awal bulan, tapi seperti mantra ajaib, ia menguap begitu saja: listrik, internet, belanja bulanan, dan tentu saja ---cicilan rumah yang setia mengetuk pintu setiap bulan tanpa jeda.
Kadang-kadang, kamu bertanya-tanya: Apakah ini artinya menjadi dewasa? Hidup dalam putaran kewajiban yang tak berkesudahan? Tapi di tengah kelelahan itu, ada kehangatan yang tak bisa dibeli: senyum Katrina ketika ia berhasil memanggilmu "Abu" atau "Ama" untuk pertama kalinya, atau pelukan pasangan di penghujung hari, ketika dunia terasa terlalu berat untuk ditanggung sendirian.
Cicilan rumah adalah simfoni hidup usia 30-an---berirama tetap, tak peduli kamu siap atau tidak. Setiap bulan, ia datang seperti teman lama yang tak pernah bosan berkunjung. Di awal, membeli rumah terasa seperti pencapaian besar, sebuah tanda bahwa kamu berhasil menjadi "dewasa".Â
Tapi di pertengahan perjalanan, kamu mulai merindukan masa di mana satu-satunya kekhawatiran adalah menentukan tempat nongkrong untuk akhir pekan.
Namun, rumah bukan hanya tembok dan atap; ia adalah mimpi yang sedang dibangun. Setiap kali membayar cicilan, kamu seolah menanam benih harapan---bahwa suatu hari, tempat ini akan menjadi istana bagi keluargamu. Dan itu membuat setiap rupiah yang dibayar terasa sedikit lebih ringan.
Rindu itu hadir seperti hujan di sore hari ---tak diundang, tapi tak bisa dihindari. Kadang, kamu merindukan kebebasan masa muda yang begitu liar dan spontan. Merindukan malam-malam panjang tanpa batas, tanpa kewajiban selain bersenang-senang.Â
Tapi hidup adalah perjalanan maju, dan masa lalu adalah tempat yang indah untuk dikunjungi, bukan untuk ditinggali.
Kini, kamu hidup dalam dimensi lain ---di mana kebahagiaan datang dalam bentuk yang berbeda. Tidak lagi berupa malam tanpa akhir di kafe, tapi dalam tawa anak kecil dan obrolan hangat dengan pasangan di sela-sela kesibukan. Mungkin memang benar, menjadi tua itu menyebalkan, tapi ia juga membawa makna yang lebih dalam.
Usia 33 adalah titik di mana kamu belajar bahwa hidup bukan tentang melarikan diri dari tanggung jawab, tapi tentang menemukan keindahan di dalamnya. Ada kebahagiaan dalam setiap lelah, makna dalam setiap tagihan yang dibayar, dan cinta dalam setiap waktu yang dihabiskan bersama keluarga.
Jadi, meskipun menjadi tua memang menyebalkan, ada banyak hal yang membuatnya layak dijalani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H