Dengan situasi Korut saat ini semakin tertinggal terutama dari segi angkatan udaranya (France24, 2022), kembali mesranya hubungan Korut-Rusia, jika melihat faktor pemicu yang sudah ada, tidak menutup kemungkinan perang terbuka terjadi. Karena berdasarkan penelitian psikologis, Kim mempunyai temperamen aktif, khususnya dalam bidang hubungan luar negeri (Immelman, 2018). Jika faktor pemicu itu terjadi, salah satu pilihan strategi rasional Korut adalah menggunakan senjata nuklir sejak awal untuk segera mengakhiri perang.
Strategi militer adalah seni paksaan, intimidasi dan pencegahan, tapi itu adalah diplomasi kekerasan. Strategi militer ofensif Korea Selatan akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan upaya diplomatik untuk membentuk perspektif Pyongyang untuk mengakui biaya konfrontasi militer dan manfaat diplomasi.
Ancaman NuklirÂ
Bazerman dan Watkins (2024) melihat perang nuklir sebagai kejutan yang dapat diprediksi. Para pemimpin negara dan organisasi internasional sebenarnya tahu bahwa itu mungkin dan akan terjadi, karena mereka mempunyai informasi yang cukup tentang ini. Kenapa mereka diam saja? Karena perang ini dalam analisis kebijakan masuk dalam ancaman frekuensi rendah tapi berdampak tinggi. Ini berarti peristiwa ini jarang terjadi tetapi jika terjadi konsekuensinya sangat besar. Sehingga hambatan mengatasi ancaman nuklir bukannya tidak peduli, tapi ancaman nuklir dianggap belum masuk dalam agenda yang mendesak.
Argumen itu diperkuat dengan laporan DailyNK (2024) berbasis di Seoul, menyampaikan berdasarkan orang dalam: Korut saat ini tidak dalam posisi untuk segera melancarkan perang. Meskipun demikian, laporan itu membenarkan bahwa peningkatan eksponensial nuklir memang sudah diwacanakan tahun ini. Padahal pada pertengahan 2021 saja, perkiraan Korut memiliki cukup bahan fisil untuk 45--55 hulu ledak nuklir (Dalton & Kim, 2023), jelas ini cukup menghancurkan Korsel.
Meskipun Korut belum akan berperang, bukan berarti menutup kemungkinan perang. Sehingga kemungkinan terjadinya perang nuklir bukan nol, kemungkinan terjadi masih ada, tinggal menunggu waktu dan pemantik saja.
Tugas utama dunia saat ini adalah mendorong ancaman nuklir masuk dalam agenda prioritas global. Namun sialnya dunia saat ini berada dalam situasi multipolar, dan ini lebih mungkin mendukung perang daripada damai (Masykur, 2023). Multipolar ditandai dengan menguatnya kekompakan AS-Eropa dan sekutunya, merapatnya hubungan Rusia dengan China, Iran dan Korut, dan menajamnya rivalitas dua kubu ini. Di luar dua kubu ini ada negara-negara berkembang mengambil sikap hati-hati dan lebih independen.
Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai potensi memimpin negara berkembang untuk menjembatani multipolar, hingga negosiasi nuklir yang selama ini mentok. Apalagi Indonesia berhasil memimpin G20 di tengah situasi geopolitik yang pelik saat itu. Dengan prinsip bebas aktif menjadikan Indonesia cocok sebagai jembatan bagi pihak-pihak yang beradu kepentingan hingga mendorong ancaman nuklir masuk agenda prioritas global. Serta dengan spirit kolaborasi yang diambil dari Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Indonesia bisa menghasilkan proyek-proyek kerja sama konkret yang bermanfaat untuk menjaga kedamaian dunia.
Daftar Pustaka
Carlin, R. L., & Hecker, S. S. (2024, November 1). Is Kim Jong Un Preparing for War? https://www.38north.org/2024/01/is-kim-jong-un-preparing-for-war/.
Cho, S. (2024, Februari 29). South Korea’s Offensive Military Strategy and Its Dilemma. https://www.csis.org/analysis/south-koreas-offensive-military-strategy-and-its-dilemma.