Mohon tunggu...
taufik azzak
taufik azzak Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pascasarjana UGM-Prodi: Ketahanan Nasional-Minat Studi: Perdamaian dan Resolusi Konflik

Minat pada isu radikalisme, ekstremisme, terorisme, serta pertahanan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Strategi dan Ancaman Nuklir di Semenanjung Korea

15 September 2024   22:57 Diperbarui: 16 September 2024   00:32 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak Januari 2024 intensitas ketegangan di Semenanjung Korea semakin meningkat. Perbedaannya dari tahun-tahun sebelumnya adalah ungkapan pimpinan Korea Utara (Korut) Kim Jong Un bahwa tidak ada lagi kemungkinan penyatuan dengan Korea Selatan (Korsel) (16/01/2024). Pernyataan ini diungkapkan di hadapan Parlemen Korut serta diikuti pembubaran organisasi penyatuan kedua Korea, dan perubahan konstitusi menjadikan Korsel sebagai "musuh utama". Menanggapi ini, Presiden Korsel Yoon Suk Yeol menyatakan jika Korut melakukan provokasi, Korsel "akan membalas berkali-kali lipat lebih kuat" (Slow, 2024).

Kim mengubah sikapnya karena melihat Korsel semakin ofensif. Seperti dalam Defense White Papers (2022) Korsel telah merumuskan strategi "sistem tiga sumbu". Strategi ini terdiri dari (1) platform "Kill Chain", bertujuan untuk mendeteksi, menargetkan, dan menghancurkan ancaman rudal atau nuklir Korut sebelum diluncurkan. (2) Sistem Pertahanan Udara dan Rudal Korea (KAMD), dan (3) Korea Massive Punishment and Retaliation (KMPR), yang mencakup serangan rudal presisi atau infiltrasi pasukan operasi khusus untuk melenyapkan pemimpin Korut (Cho, 2024).

Perlu diingat strategi ofensif Korsel bertujuan mencegah agresi Korut, bukan untuk memulai serangan. Memang strategi pertahanan Korsel semakin ofensif selama satu dekade terakhir. Pada 2012 serangan pendahuluan atau pembalasan tidak dimasukkan sebagai strategi pertahanan. Baru pada 2013 diperkenalkan "Kill Chain" dan 2016 strategi KMPR. Peningkatan ini mencerminkan kebutuhan Korsel untuk menghadapi ancaman nuklir dengan sistem konvensional. Namun, apakah Korut memahami maksud defensif Korsel. Serta apakah Korsel mampu mengelola risiko yang meningkat akibat pendekatan keamanannya dalam satu dekade semakin ofensif.

Dinamika ini mencerminkan security dilemma bahwa tindakan satu pihak untuk meningkatkan keamanan dianggap ancaman bagi pihak lain. Dinamika ini berakibat perlombaan senjata atas dalih menjaga keamanan wilayah. Intensitas persaingan ini membuat Korut semakin terancam dan memutuskan tidak mungkin lagi melakukan unifikasi dan dibalas dengan tegas juga oleh Korsel. Dengan tidak adanya perjanjian damai yang ditandatangani sejak Perang 1950 membuat keduanya dalam status masih berperang, dan ini berkontribusi pada semakin dekat pada perang terbuka.  Situasi ini digambarkan oleh dua profesor yang fokus pada Korut Carlin dan Hecker (2024) sebagai lebih berbahaya dari sebelumnya sejak dimulainya Perang Korea pada 1950. Pertanyaannya, sejauh mana dinamika terkini memicu perang terbuka? Faktor apa saja yang memengaruhi?

Analisis Perang 

Menurut Suganami (Miall dkk., 2011; Suganami, 2002) perang tidak disebabkan oleh faktor tunggal, selalu ada multi faktor yang bekerja bersama-sama. Suganami melihat setidaknya ada tiga faktor pemicu perang. Pertama, niat saling membunuh dan adanya senjata. Poin ini bisa dilihat dari retorika yang semakin tegas dari kedua pihak. Dalam aspek senjata, Korsel meningkatkan sistem pertahanan serta terdapat sistem pertahanan rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) yang didukung militer Amerika Serikat (AS) yang berada di Korsel.

Meskipun Korut sudah mempunyai rudal antarbenua (ICBM) yang begitu mengancam dunia dan jangka pendek yang spesifik mengancam Korsel. Dinamika terkini Korut meningkatkan jumlah senjata nuklir secara eksponensial (CNN, 2024). Perlu diingat kebijakan Korut ini muncul setelah Putin mengunjungi Korut pada Juni 2024 untuk pertama kali setelah tahun 2000. Padahal kedekatan ini bertolak belakang dengan sikap Rusia yang sebelumnya mendukung sanksi keras terhadap Korut terkait uji coba nuklir (Kompas, 2024). Kedekatan keduanya menunjukkan adanya aliansi untuk membentuk musuh bersama AS dan sekutunya. Sekaligus menunjukkan adanya perhitungan secara politis dari Korut bahwa jika di belakang Korsel ada AS, di belakang saya ada Rusia. Dinamika ini seperti mengulang sejarah awal pemisahan dan Perang Korea 1950-1953.

 

Kedua, dukungan masyarakat dan legitimasi negara. Retorika yang kini semakin tegas, provokasi, dan peristiwa hampir perang terbuka di Semenanjung Korea seperti: Blue House (1968), penyitaan USS Pueblo (1968), tenggelamnya ROKS Cheonan (2010), pemboman pulau Yeonpyeong (2010), dan tweet "Fire and Fury" (2017), menunjukkan konflik laten yang sangat dalam.

Ketiga, ketiadaan perangkat pencegahan perang. Upaya internasional seperti perundingan denuklirisasi Korut telah mengalami kebuntuan sejak 2009, meski berbagai macam sangsi sudah dilakukan, Korut tetap tidak bergeming. Kegagalan ini ditambah contoh ekspansi Rusia ke Ukraina bisa menjadi contoh sekaligus inspirasi bagi Korut bahwa tindakan militer bisa menjadi opsi yang realistis. Terutama melihat bahwa komunitas internasional lambat sekaligus terpecah dalam merespons perang Rusia-Ukraina.

Dari analisis Suganami, dapat dikatakan tiga faktor pemicu sudah terpenuhi. Namun faktor pemicu ini hanya sebagai prasyarat masih ada satu faktor yang menentukan, yakni pemantik (Vasquez, 1987). Faktor pemantik lebih spesifik dan merupakan sentuhan akhir yang berada pada pimpinan negara. Karena pada dasarnya perang adalah keputusan politik negara. Dalam kaitan keputusan akhir untuk berperang selalu didahului dua hal. Pertama, optimisme berlebih, bahwa perang ini akan mudah dimenangkan dan berjalan cepat. Kedua, kesalahan perhitungan dalam memahami kekuatan lawan. Sehingga pemantik dari perang adalah kesalahan persepsi dalam melihat fenomena, biasanya berupa tersulutnya emosi akibat provokasi, dan ini diikuti dengan kesalahan perhitungan atas lawan. Contoh nyatanya adalah ekspansi Rusia ke Ukraina.

Dengan situasi Korut saat ini semakin tertinggal terutama dari segi angkatan udaranya (France24, 2022), kembali mesranya hubungan Korut-Rusia, jika melihat faktor pemicu yang sudah ada, tidak menutup kemungkinan perang terbuka terjadi. Karena berdasarkan penelitian psikologis, Kim mempunyai temperamen aktif, khususnya dalam bidang hubungan luar negeri (Immelman, 2018). Jika faktor pemicu itu terjadi, salah satu pilihan strategi rasional Korut adalah menggunakan senjata nuklir sejak awal untuk segera mengakhiri perang.

Strategi militer adalah seni paksaan, intimidasi dan pencegahan, tapi itu adalah diplomasi kekerasan. Strategi militer ofensif Korea Selatan akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan upaya diplomatik untuk membentuk perspektif Pyongyang untuk mengakui biaya konfrontasi militer dan manfaat diplomasi.

Ancaman Nuklir 

Bazerman dan Watkins (2024) melihat perang nuklir sebagai kejutan yang dapat diprediksi. Para pemimpin negara dan organisasi internasional sebenarnya tahu bahwa itu mungkin dan akan terjadi, karena mereka mempunyai informasi yang cukup tentang ini. Kenapa mereka diam saja? Karena perang ini dalam analisis kebijakan masuk dalam ancaman frekuensi rendah tapi berdampak tinggi. Ini berarti peristiwa ini jarang terjadi tetapi jika terjadi konsekuensinya sangat besar. Sehingga hambatan mengatasi ancaman nuklir bukannya tidak peduli, tapi ancaman nuklir dianggap belum masuk dalam agenda yang mendesak.

Argumen itu diperkuat dengan laporan DailyNK (2024) berbasis di Seoul, menyampaikan berdasarkan orang dalam: Korut saat ini tidak dalam posisi untuk segera melancarkan perang. Meskipun demikian, laporan itu membenarkan bahwa peningkatan eksponensial nuklir memang sudah diwacanakan tahun ini. Padahal pada pertengahan 2021 saja, perkiraan Korut memiliki cukup bahan fisil untuk 45--55 hulu ledak nuklir (Dalton & Kim, 2023), jelas ini cukup menghancurkan Korsel.

Meskipun Korut belum akan berperang, bukan berarti menutup kemungkinan perang. Sehingga kemungkinan terjadinya perang nuklir bukan nol, kemungkinan terjadi masih ada, tinggal menunggu waktu dan pemantik saja.

Tugas utama dunia saat ini adalah mendorong ancaman nuklir masuk dalam agenda prioritas global. Namun sialnya dunia saat ini berada dalam situasi multipolar, dan ini lebih mungkin mendukung perang daripada damai (Masykur, 2023). Multipolar ditandai dengan menguatnya kekompakan AS-Eropa dan sekutunya, merapatnya hubungan Rusia dengan China, Iran dan Korut, dan menajamnya rivalitas dua kubu ini. Di luar dua kubu ini ada negara-negara berkembang mengambil sikap hati-hati dan lebih independen.

Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai potensi memimpin negara berkembang untuk menjembatani multipolar, hingga negosiasi nuklir yang selama ini mentok. Apalagi Indonesia berhasil memimpin G20 di tengah situasi geopolitik yang pelik saat itu. Dengan prinsip bebas aktif menjadikan Indonesia cocok sebagai jembatan bagi pihak-pihak yang beradu kepentingan hingga mendorong ancaman nuklir masuk agenda prioritas global. Serta dengan spirit kolaborasi yang diambil dari Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan Indonesia bisa menghasilkan proyek-proyek kerja sama konkret yang bermanfaat untuk menjaga kedamaian dunia.

Daftar Pustaka

Carlin, R. L., & Hecker, S. S. (2024, November 1). Is Kim Jong Un Preparing for War? https://www.38north.org/2024/01/is-kim-jong-un-preparing-for-war/.

Cho, S. (2024, Februari 29). South Korea’s Offensive Military Strategy and Its Dilemma. https://www.csis.org/analysis/south-koreas-offensive-military-strategy-and-its-dilemma.

CNN. (2024). Ambisi Kim Jong Un Tambah Kekuatan Senjata Nuklir Korea Utara. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20240910102949-113-1142830/ambisi-kim-jong-un-tambah-kekuatan-senjata-nuklir-korea-utara.

Dalton, T., & Kim, J. (2023). Rethinking Arms Control with a Nuclear North Korea. Survival, 65(1), 21–48. https://doi.org/10.1080/00396338.2023.2172847

France24. (2022). The weakest link? North Korea’s crumbling air force. https://www.france24.com/en/live-news/20221108-the-weakest-link-north-korea-s-crumbling-air-force.

Immelman, A. (2018). The leadership style of North Korean supreme leader Kim Jong-un.

Jang, S. (2024, Januari 18). Insiders say North Korea is not in any position to immediately wage war. https://www.dailynk.com/english/insiders-say-north-korea-is-not-in-any-position-to-immediately-wage-war/.

Kompas. (2024, September 13). Latihan Militer Rusia-China. https://www.kompas.id/baca/opini/2024/09/12/latihan-militer-rusia-china?open_from=Opini_Page.

Masykur, S. (2023). Indonesia di Tengah Dunia Multipolar. https://www.kompas.id/baca/opini/2023/07/21/indonesia-di-tengah-dunia-multipolar.

Miall, H., Ramsbotham, O., & Woodhouse, T. (2011). Contemporary Conflict Resolution (3th ed.). Polity.

Republic of Korea, M. of N. D. (2022). Defense White Paper 2022. https://www.mnd.go.kr/user/mndEN/upload/pblictn/PBLICTNEBOOK_202307280406019810.pdf.

Slow, O. (2024). North Korea’s Kim Jong Un abandons unification goal with South. https://www.bbc.com/news/world-asia-67990948.

Suganami, H. (2002). Explaining War: Some Critical Observations. International Relations, 16(3), 307–326. https://doi.org/10.1177/0047117802016003001

Vasquez, J. A. (1987). The Steps to War: Toward a Scientific Explanation of Correlates of War Findings. World Politics, 40(1), 108–145. https://doi.org/10.2307/2010196

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun