Aceh Selatan - Jika Anda berkunjung ke Panton Luas, Aceh Selatan, ada satu frasa yang pasti akan sering terdengar: "Apa ruu?" Ungkapan sederhana ini bukan sekadar sapaan biasa. Ia memiliki cerita mendalam yang mengakar pada komunikasi di sana, dimulai dari seorang pawang harimau yang dihormati.
Pawang harimau yang bernama Masrita dari Panton Luas bukanlah sosok biasa. Beliau adalah figur yang tak hanya menjaga harmoni antara manusia dan alam, tetapi juga menjadi jembatan komunikasi lintas generasi. Dalam perannya sebagai pawang, ia memiliki tugas berat untuk menjaga ketenteraman, memastikan harimau dan manusia dapat hidup berdampingan tanpa saling mengganggu.
Desa Panton Luas merupakan salah satu desa dari kecamatan Tapak Tuan, Kabupaten Aceh Selatan dengan luas 1.234 km², berada pada koordinat 3°18'06"N 97°13'08"E. Sejarah terbentuknya Gampong Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, diawali dengan hadirnya beberapa penduduk di kaki bukit untuk bercocok tanam. Seiring waktu, jumlah penduduk semakin banyak di lokasi tersebut karena kondisi tanah yang subur untuk pertanian. Di kemudian hari, masyarakat yang tingggal di permukiman menamakannya Panton Luas yang artinya dataran yang luas.
Gampong Panton Luas berdiri di ambang batas peradaban manusia dan alam liar, bersebelahan langsung dengan kawasan hutan lindung yang melindungi ekosistem Aceh Selatan. Hutan ini, yang menjadi rumah bagi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), sering kali menjadi panggung konflik tak terelakkan antara manusia dan satwa liar. Jejak-jejak ketegangan itu menyusuri waktu, dengan peristiwa kelam pada tahun 2011, ketika konflik ini merenggut nyawa seorang penduduk. Meski kini intensitas konflik tak lagi mengancam jiwa manusia, rasa takut dan keresahan masih menyelimuti masyarakat.
Konflik Manusia dan Satwa
Konflik yang terjadi di Panton Luas bukan sekadar benturan fisik antara manusia dan harimau, tetapi juga konflik psikologis yang mengoyak rasa aman penduduk. Harimau bukan hanya muncul di ladang dan kebun, tetapi kadang mengintip di tepi permukiman, bahkan sesekali menyusup ke dalamnya. Ketika sosok harimau terdeteksi di sekitar gampong, sebagian petani memilih untuk menunda perjalanan ke kebun, sumber nafkah utama keluarga mereka. Namun, ada pula yang tetap bertahan, menimbang kebutuhan hidup lebih berat daripada ancaman yang tak terlihat.
Intensitas kemunculan harimau di Panton Luas tidak dapat dipandang enteng. Meski konflik yang terjadi belakangan ini tergolong risiko rendah tanpa ancaman langsung terhadap keselamatan manusia atau harimau, ketegangan yang ditimbulkannya cukup untuk menciptakan rasa tidak aman di kalangan masyarakat. Ancaman terhadap perekonomian keluarga yang bergantung pada hasil kebun kian memperkeruh suasana.
Ketika berbicara tentang hubungan manusia dan harimau di Aceh Selatan, peran pawang harimau tidak dapat diabaikan. Di Panton Luas, sosok pawang harimau bukan hanya seorang penjaga tradisi, tetapi juga mediator antara manusia dan alam liar. Seiring dengan meningkatnya upaya konservasi, keberadaan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Rimung Aulia menjadi elemen penting yang melengkapi peran pawang harimau dalam menciptakan harmoni di tengah dinamika ini.
Langkah Pendekatan Masyarakat Desa Mandiri (MDM)
Menjawab tantangan ini, sejak 2016, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mendampingi masyarakat Panton Luas. Pendekatan yang digunakan adalah program Masyarakat Desa Mandiri (MDM), sebuah inisiatif yang bertujuan meningkatkan kemandirian desa dalam mengelola konflik manusia dan satwa liar, termasuk harimau.
Pendekatan ini lahir dari keyakinan bahwa keberhasilan penanganan konflik bergantung pada partisipasi aktif masyarakat. MDM tidak bertujuan menghapus konflik secara total, tetapi membekali masyarakat dengan kemampuan untuk menangani konflik sejak dini. Ketika intensitas konflik meningkat, langkah-langkah ini menjadi pondasi bagi kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak lebih luas.