Bayangkanlah, di sudut barat Nusantara, terhampar sebuah pulau yang dititipkan angin dan riak gelombang. Namanya Pulo Aceh, tempat di mana laut bertemu daratan, di mana langit dan bumi saling menyapa.
Penduduknya hidup sederhana, menggantungkan nasib pada laut yang terkadang murah hati, kadang tak ramah, namun selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Sejenak kita renungi, bisakah suatu hari pulau ini menjadi pusat peradaban yang maju? Sebuah surga wisata, tempat setiap orang datang tak sekadar berkunjung, tapi pulang membawa cerita, pengalaman yang abadi.
Tantangan dan Hambatan Pulo Aceh
Namun, dari mana memulainya?
Pertama-tama, kita mesti menatap kenyataan yang dihadapi, memandangi dengan mata terbuka apa yang ada di depan kita, tanpa pura-pura atau mengelak.
Pulo Aceh, kendati kaya akan alam, masih terperangkap dalam kesulitan---transportasi, ekonomi, kesehatan. Transportasi yang memisahkannya dari dunia luar ibarat sekat tak kasat mata, mengisolasi pulau ini dari laju daerah kecamatan lainnya di aceh.
Bayangkan seorang ibu yang hendak melahirkan, namun terpaksa menunggu perahu nelayan yang tak kunjung datang, atau seorang ayah yang sakit keras tapi tak punya jalan lain selain bergantung pada laut yang tak pasti.
Tahun lalu, pemerintah menghadirkan ambulans laut, namun apakah cukup satu ambulans untuk mengatasi desakan kebutuhan yang nyata dan terus tumbuh?
Meski demikian, harapan tak boleh mati. Di sinilah peran Pemkab Aceh Besar yang ditunggu. Perlu ada langkah yang teguh untuk membangun konektivitas transportasi yang layak, seperti janji yang harus ditepati.
Bagaimana mungkin kita bicara kemajuan jika menghubungkan Banda Aceh dan Pulo Aceh saja masih dirundung masalah?
Masyarakat Pulo Aceh bukan tak mengerti impian dan cita-cita. Mereka juga ingin hidup layak, ingin sejahtera, ingin agar anak-anak mereka tak merasa terasing di tanah sendiri. Setiap potong kayu yang diangkut ke sana, setiap semen dan besi yang mereka beli jauh lebih mahal dari di Banda Aceh---padahal hanya lautan yang membentang di antara mereka. Hati siapa tak terluka?
Ayo berimajinasi tentang Masa Depan Pulo Aceh
Dari sini, perjalanan panjang itu dimulai. Pertama, perbaikan infrastruktur harus menjadi perhatian utama. Bayangkan jika ada jembatan yang menghubungkan Pulau Breuh dengan Pulau Nasi, atau pelabuhan yang layak yang siap menerima kapal dari Banda Aceh kapan saja.
Lalu, di butuhkan pencatatan setiap kekayaan yang dimiliki Pulo Aceh, mulai dari ikan, hasil laut, hingga keindahan pantainya yang memesona.
Bayangkan kalau semua itu diolah dan dipasarkan dengan data yang akurat, sebuah tim marketing dari kalangan akademisi dan ahli bisa membantu merencanakan strategi pemasaran yang berdampak bagi ekonomi lokal.
Pulo Aceh, dengan laut biru dan pasir putihnya, sejatinya tak kalah dari pulau-pulau di belahan dunia manapun. Tapi, seperti halnya peradaban yang besar, Pulo Aceh perlu tumbuh bersama nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, dengan aturan yang selaras. Pariwisata berbasis komunitas, yang menjaga adat dan menghormati syariat, adalah pilihan bijak.
Kita tak perlu Maladewa atau Andaman, kita butuh Pulo Aceh menjadi dirinya sendiri, unik dan menawan, menjadi tempat di mana wisatawan belajar, mengagumi, sekaligus menghormati setiap jengkal tanahnya.
Tak berhenti di situ, potensi ekonomi dari perikanan dan pengolahan ikan bisa membuka jalan bagi kerja sama dengan negara tetangga, seperti India. Pelabuhan yang ada harus dioptimalkan menjadi titik penghubung untuk ekspor, sehingga hasil laut Pulo Aceh dikenal hingga ke pasar internasional.
Namun, untuk menatap jauh ke depan, kita butuh sinergi. Sinergi antara Pemkab Aceh Besar dan BPKS serta multipihak lainnya yang terkait, untuk memastikan Pulo Aceh tak lagi sekadar nama dalam peta, tapi sebuah titik yang berarti dalam ekonomi dan peradaban Aceh.
Di masa depan, kita mungkin akan melihat Pulo Aceh tak hanya sebagai pulau di ujung barat, tapi sebagai mercusuar peradaban, tempat di mana budaya, agama, dan modernitas bertemu dan saling menguatkan.
Kita memang berjarak 20, 30, atau bahkan 50 tahun dari visi itu. Tapi jika kita tak mulai dari sekarang, kapan lagi? Mari kita bangun Pulo Aceh bukan sekadar pulau, tapi sebuah mimpi yang dititipkan oleh sejarah, oleh tanah, dan oleh laut yang tak pernah lelah menyuarakan irama masa depan. [*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H