Bagaimana mungkin kita bicara kemajuan jika menghubungkan Banda Aceh dan Pulo Aceh saja masih dirundung masalah?
Masyarakat Pulo Aceh bukan tak mengerti impian dan cita-cita. Mereka juga ingin hidup layak, ingin sejahtera, ingin agar anak-anak mereka tak merasa terasing di tanah sendiri. Setiap potong kayu yang diangkut ke sana, setiap semen dan besi yang mereka beli jauh lebih mahal dari di Banda Aceh---padahal hanya lautan yang membentang di antara mereka. Hati siapa tak terluka?
Ayo berimajinasi tentang Masa Depan Pulo Aceh
Dari sini, perjalanan panjang itu dimulai. Pertama, perbaikan infrastruktur harus menjadi perhatian utama. Bayangkan jika ada jembatan yang menghubungkan Pulau Breuh dengan Pulau Nasi, atau pelabuhan kecil yang siap menerima kapal dari Banda Aceh kapan saja.
Lalu, ada kebutuhan untuk mencatat setiap kekayaan yang dimiliki Pulo Aceh, mulai dari ikan, hasil laut, hingga keindahan pantainya yang memesona.
Bayangkan kalau semua itu diolah dan dipasarkan dengan data yang akurat---sebuah tim marketing dari kalangan akademisi dan ahli bisa membantu merencanakan strategi pemasaran yang berdampak bagi ekonomi lokal.
Pulo Aceh, dengan laut biru dan pasir putihnya, sejatinya tak kalah dari pulau-pulau di belahan dunia manapun. Tapi, seperti halnya peradaban yang besar, Pulo Aceh perlu tumbuh bersama nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, dengan aturan yang selaras. Pariwisata berbasis komunitas, yang menjaga adat dan menghormati syariat, adalah pilihan bijak.
Kita tak perlu Maladewa atau Andaman; kita butuh Pulo Aceh menjadi dirinya sendiri, unik dan menawan, menjadi tempat di mana wisatawan belajar, mengagumi, sekaligus menghormati setiap jengkal tanahnya.
Tak berhenti di situ, potensi ekonomi dari perikanan dan pengolahan ikan bisa membuka jalan bagi kerja sama dengan negara tetangga, seperti India. Pelabuhan yang ada harus dioptimalkan menjadi titik penghubung untuk ekspor, sehingga hasil laut Pulo Aceh dikenal hingga ke pasar internasional.
Namun, untuk menatap jauh ke depan, kita butuh sinergi. Sinergi antara Pemkab Aceh Besar dan BPKS, untuk memastikan Pulo Aceh tak lagi sekadar nama dalam peta, tapi sebuah titik yang berarti dalam ekonomi dan peradaban Aceh.
Di masa depan, kita mungkin akan melihat Pulo Aceh tak hanya sebagai pulau di ujung barat, tapi sebagai mercusuar peradaban, tempat di mana budaya, agama, dan modernitas bertemu dan saling menguatkan.
Kita memang berjarak 20, 30, atau bahkan 50 tahun dari visi itu. Tapi jika kita tak mulai dari sekarang, kapan lagi? Mari kita bangun Pulo Aceh bukan sekadar pulau, tapi sebuah mimpi yang dititipkan oleh sejarah, oleh tanah, dan oleh laut yang tak pernah lelah menyuarakan irama masa depan.