Mohon tunggu...
Taufiiqul Hakim
Taufiiqul Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berproses

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

(Part I) Kehendak Bebas Tidak Benar-benar Ada: Perspektif Asy'ariyah dan Sam Harris

2 September 2022   19:23 Diperbarui: 5 September 2022   19:29 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamu 'alaikum Sobat Mantap !

Di artikel saya sebelumnya terlihat tendensi yang kental akan adanya kehendak bebas pada manusia. Dan memang di hampir seluruh aktivitas kehidupan individu dilakukan secara sengaja dan sesuai dengan kemauan. Contohnya, kita makan karena memang mau makan. Termasuk ketika nulis artikel misalnya, itu karena ya memang mau nulis artikel. Di mana kita mau menulis juga adalah keputusan berdasarkan kehendak pribadi. Dengan begitu, efek apapun yang terjadi berkenaan dengan yang dilakukan seseorang dapat menjadi tanggung jawab individu tersebut.

Namun, pandangan bahwa manusia sepenuhnya bebas juga tak selalu benar. Faktanya, kita hanya dapat menentukan satu pilihan di  antara berbagai kemungkinan tapi tidak dapat menentukan apa-apa saja yang menjadi kemungkinan itu. Misalnya, seseorang yang tinggal di perkampungan di Indonesia, seperti penulis, ketika ingin sarapan terlintas dalam pikirannya, "Mau makan apa ya? Nasi uduk, bubur, ketoprak, atau lontong sayur ya ?". Mengapa di pikiran orang tersebut tidak terlintas palak paneer, appam, atau onion uttapam sebagai tawaran opsi sarapan paginya ? Salah satu jawaban yang sangat mungkin adalah karena orang tersebut bukan orang India atau tidak tinggal di India. Apa yang terlintas dalam pikiran seseorang menentukan pilihan yang dikehendakinya.

Dari sini kita melihat bahwa ada sesuatu di belakang kehendak bebas kita, yaitu kondisi kebudayaan. Sesuatu di belakang kehendak kita juga bisa berupa kecenderungan genetik. Hal inilah yang membuat beberapa orang berpikir, "apakah kehendak bebas benar-benar nyata? Atau hanya bersifat relatif  dan bahkan ilusif ?". Selain itu, seorang beragama yang meyakini bahwa Tuhan itu Maha Kuasa juga akan tergoda memikirkan apakah dirinya memang bebas atau hanya menjadi wayang bagi Tuhannya.

Untuk itulah penulis akan mencoba menyajikan pandangan kubu yang menolak adanya kehendak bebas, khususnya dari Kaum Asy'ariyah dan Sam Harris. Meski begitu, keduanya memiliki corak pikir yang berbeda. Yang pertama bercorak teologis sedangkan yang kedua bercorak saintifik.

  • Pandangan Asy'ariyah Tentang Kehendak Bebas

Asy'ariyah merupakan nama bagi aliran dalam kalam (teologi Islam) yang dinisbatkan kepada Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari (875-935 M) yang biasa dikenal dengan nama al-Asy'ari. Aliran yang diprakarsai oleh al-Asy'ari ini merupakan respon dan kritik terhadap dominasi aliran Mu'tazilah yang merupakan aliran kalam bercorak rasional yang menjadi mazhab resmi Daulah Abbasiyah pada sekitar abad 9 M. Awalnya al-Asy'ari bermazhab Mu'tazilah namun pada akhirnya berbalik arah dengan berpihak kepada ahl al-hadis yang menolak takwil terhadap al-Qur'an maupun al-Sunnah seperti yang dilakukan Mu'tazilah. Maka itu muncullah istilah Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah yang salah satunya merujuk kepada Asy'ariyah.

Doktrin-doktrin Asy'ariyah juga meliputi tema kehendak bebas. Dari konteks kemunculan aliran ini, dapat dipahami bahwa posisi pertama Asy'ariyah mengenai kehendak bebas merupakan kritik terhadap paham Mu'tazilah dalam tema yang sama. Mu'tazilah cenderung kepada paham qadariyah yang memandang manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk perbuatan-perbuatannya. Menurut Harun Nasution (1986), paham ini merujuk pada konsep free will dan free act dalam bahasa Inggris. 

Sedangkan Asy'ariyah cenderung kepada jabariyah yang memahami bahwa manusia tidak bebas atau terpaksa dalam melakukan perbuatannya. Meskipun apa yang diutarakan Asy'ariyah tidak betul-betul identik dengan paham jabariyah khalishah (jabariyah murni). Sehingga posisi kedua Asy'ariyah dalam kehendak bebas adalah sebagai jabariyah mutawassithah (jabariyah moderat).

Dalam Asy'ariyah, manusia dipandang lemah di bawah superioritas kekuasaan Tuhan. Maka kehendak bebas yang mutlak hanyalah milik Tuhan dan manusia digambarkan sebagai tempat terwujudnya perbuatan Tuhan. Manusia bergantung secara penuh dalam kehendak dan kuasa Tuhan. Keunikan Asy'ariyah adalah memasukkan term al-kasb dalam menjelaskan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan absolut Tuhan.

Secara bahasa, al-kasb berarti penghasilan atau perolehan. Sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution dalam buku Teologi Islam, al-kasb menurut al-Asy'ari adalah sesuatu timbul dari al-muktasib (orang yang memperoleh al-kasb) dengan perantaraan daya yang diciptakan. Iktisab (kata benda dari muktasib) adalah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan (kasb) bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul.

Adanya istilah "diciptakan" dan "memperoleh" mengandung kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Harun melanjutkan, "timbul dari al-muktasib" dalam definisi al-kasb menunjukkan kepasifan dan kelemahan manusia. Namun kasb atau perolehan juga menunjukkan arti keaktifan dan tanggung jawab manusia. Meski begitu karena pada hakikatnya al-kasb itu diciptakan maka sebetulnya manusia adalah pasif dan Tuhan adalah al-fa'il (pelaku) yang sebenarnya.

Al-Asy'ari mendasarkan pendapatnya pada QS. al-Shaffat (37) : 96

Yang berarti, "Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat." Dengan ini jelaslah bahwa Tuhan menciptakan manusia sekaligus perbuatan-perbuatannya.

Pembicaraan mengenai al-kasb, secara lebih jelas dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari mengenai harkah al-idhthirar, yaitu gerakan tubuh yang tidak dapat dikendalikan seseorang (involunter). Dalam perbuatan involunter terdapat dua unsur, penggerak yang mewujudkan gerak dan badan yang bergerak. Penggerak yaitu pembuat gerak yang sebenarnya adalah Tuhan dan yang bergerak adalah manusia, bukan Tuhan. Tuhan bukanlah yang bergerak karena gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani (kebendaan) sedangkan Tuhan bukanlah wujud jasmani. Dalam hal ini, al-Asy'ari memandang al-kasb sama dengan perbuatan involunter, yakni bersifat paksaan dan di luar kekuasaan manusia.

Namun begitu, al-Asy'ari tidak begitu saja menyamakan secara identik antara keduanya. Dalam perbuatan involunter, manusia terpaksa melakukan sesuatu yang tak dapat dielakkannya sebagaimanapun dia berusaha. Sedangkan dalam al-kasb, paksaan demikian tidak ada. Gerak manusia mengetik laptop, misalnya, berbeda dengan gerak menggigil karena demam tinggi. Dalam gerak pertama terdapat daya yang diciptakan sedangkan yang kedua terdapat ketidakmampuan. Sehingga dalam hal pertama tidak dapat mutlak disebut paksaan namun disebut al-kasb. Namun begitu, keduanya adalah ciptaan Tuhan.

Dalam memahami kehendak Tuhan, al-Asy'ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin terjadi. Ia berdalil dengan QS. al-Insan (76): 30,

Artinya: "Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki". Al-Asy'ari menafsirkan bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu kecuali jika Allah menghendaki manusia supaya menghendaki sesuatu itu. Kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan. Ketika penulis berkehendak menulis artikel di kompasiana, itu berarti Allah mengkehendaki penulis untuk menghendaki yang demikian. Tidaklah ada kehendak dalam diri manusia kecuali itu adalah kehendak Allah.

Mengenai daya (istitha'ah) dipahami sebagai sesuatu yang lain dari diri manusia. Dalam al-Luma' Bab al-Kalam fi al-Istitha'ah, al-Asy'ari mengatakan bahwa hal itu dikarenakan manusia terkadang kuasa (mustathi') terkadang lemah ('ajiz). Jika merujuk kepada The Ordinary Language Philosophy-nya Gilbert Ryle (1900-1976) maka mustathi' (orang yang memiliki kuasa) digunakan sebagai dispositional statements, yakni pernyataan yang menunjuk pada sifat atau kebiasaan yang harus dibedakan dari pernyataan yang merujuk suatu peristiwa tertentu yang tidak menjadi kebiasaan yang melekat pada dirinya. Contoh, "Taufiq adalah seorang perokok" harus dibedakan dari "Taufiq sedang merokok". Pernyataan pertama bermakna bahwa Taufiq adalah orang yang biasa merokok sehingga dia dicap sebagai perokok dan bukan berarti Taufik sekarang sedang merokok. Sedangkan pernyataan kedua bermakna bahwa Taufiq sekarang sedang merokok bukan berarti Taufiq memiliki kebiasaan merokok.

Dengan begitu dapatlah dipahami bahwa manusia tidaklah dapat disebut sebagai mustathi' (pemilik daya kuasa) karena ia terkadang lemah, dan terkadang berdaya. Sehingga dipahami bahwa istitha'ah adalah sesuatu yang tidak melekat dan di luar diri manusia.

Daya ini pun tidak terwujud sebelum adanya perbuatan tetapi bersamaan dengan adanya perbuatan, dan daya itu hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja. Argumen al-Asy'ari adalah orang yang tidak diciptakan dalam dirinya daya, tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan begitu daya untuk berbuat adalah daya Tuhan bukan daya manusia.

Hal inilah yang membedakan Asy'ariyah dengan Mu'tazilah. Menurut Mu'tazilah, Tuhan menciptakan daya pada diri manusia yang dengan daya itu manusia dapat melakukan perbuatan. Dan daya ini ada sebelum adanya perbuatan. Dengan begitu daya Tuhan tidaklah memiliki bagian dalam perwujudan perbuatan manusia. Maka manusia adalah pencipta (khaliq) perbuatannya sendiri.

Al-Ghazali (1058-1111 M), pembesar Asy'ariyah, menentang pendapat Mu'tazilah ini karena menurutnya tidak sesuai dengan konsensus ulama (ijma') bahwa tidak ada pencipta kecuali Allah. terkait ijma' ini, juga disebutkan dalam al-Ibanah karya al-Asy'ari yang telah diberi penjelasan oleh Dr. Shalih bin Muqabbil al-'Ashimi al-Tamimi bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah percaya bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan perbuatan-perbuatan hamba termasuk di dalamnya. Al-Asy'ari juga menilai ungkapan Mu'tazilah menandakan mereka tidak lagi berhajat pada Tuhan.

Al-Baghdadi, seorang pembesar Asy'ariyah lainnya, mengatakan bahwa hubungan daya Allah dan manusia diibaratkan seperti ada dua orang yang mengangkat batu berat. Yang satu sama sekali tidak mampu mengangkat batu dan yang lainnya sanggup mengangkat batu itu. Ketika batu terangkat, sebetulnya batu itu diangkat oleh satu orang yang kuat namun bukan berarti satu orang lain yang tidak berdaya tidak turut mengangkatnya. Al-Ghazali dengan tegas mengatakan bahwa daya manusia dihadapan daya Tuhan adalah suatu impotensi.

Sebagaimana dijelaskan oleh Abduh, daya manusia dalam al-kasb tidak sepenuhnya pasif sebagaimana jabariyah (ekstrem). Hal ini harus digaris bawahi karena teori al-kasb Asy'ariy memang sulit dan bisa menimbulkan salah paham. Sampai-sampai jika ada sesuatu yang sangat sulit, seorang ulama bernama Abu 'Uzbah bercanda, "ini sih lebih susah dari al-kasb Asy'ariy."

Ibrahim al-Rahili dalam kitabnya al-Mukhtashar fi 'Aqidah Ahl al-Sunnah fi al-Qadr mengutip komentar Ibn Taimiyah, "al-Asy'ariyah tidak mengatakan bahwa hamba itu fa'il (pembuat) sebenarnya tetapi disebut kasib (yang memiliki al-kasb); mereka juga tidak menyebutkan antara al-fi'il (perbuatan) dengan al-kasb (perolehan) itu perbedaan yang sungguh dipahami. Sebetulnya perkataan  mereka itu kembali pada perkataan Jahm (pendiri jabariyah ekstrem) bahwa si hamba tidak memiliki kuasa, perbuatan, dan kasb (perolehan)."

Penulis tidak menyetujui jika kata "kembali" dalam ucapan Ibn Taimiyah diartikan dengan "sama dengan" karena jelas-jelas al-Asy'ari mengidentifikasi al-kasb. Saya lebih menyetujui perkataan al-Jurjani, yang juga dikutip al-Rahili, "Jabariyah itu ada dua: pertama, yang moderat dengan menetapkan al-kasb pada hamba seperti al-Asy'ariyah; dan yang sungguh-sungguh jabariyah yang tidak menetapkan adanya al-kasb seperti al-Jahmiyah."

Maka jelaslah disini bahwa sebetulnya kehendak dan perbuatan manusia, menurut Asy'ariyah, pada hakikatnya relatif. Kemutlakan kehendak bebas hanya milik Tuhan. Al-kasb pada manusia yang merupakan ciptaan Allah tidak memiliki kuasa yang efektif.

Terus, gimana penyangkalan terhadap kehendak bebas dari perspektif sains ? Akan penulis lanjutkan di Part 2

(Part II) Kehendak Bebas Tidak Benar-benar Ada: Perspektif Asy'ariyah dan Sam Harris

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun