Mohon tunggu...
Taufiiqul Hakim
Taufiiqul Hakim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berproses

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengatasi Overthinking ala Filsuf Muslim, Al-Razi

29 Agustus 2022   16:25 Diperbarui: 29 Agustus 2022   16:37 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Assalamu 'alaikum Sobat Mantap !

Ngomongin overthinking, kayaknya udah jadi fenomena yang umum buat semua orang. Setiap orang yang sudah dapat merencanakan sesuatu, memiliki pertimbangan baik dan buruk serta tingkatannya, apalagi bagi orang yang udah memiliki tanggung jawab; pasti pernah ngalamin overthinking. Semua itu dikarenakan overthinking menjadi pengalaman eksistensial tiap individu yang selalu ada dalam fase kehidupannya.

Kali ini, penulis mau ngobrolin tentang obat overthinking yang ditawarin oleh filsuf peripatetik Muslim (massya'iyyah) bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakariya al-Razi (864-925 M), yang biasa dikenal sebagai al-Razi (Arab) atau Rhazes (Latin). Tapi sebelum itu, kita liat dulu apa dan gimana sih gejala dari overthinking ...

Pernah ga sih ngalamin kondisi kayak banyak banget pikiran, otak yang seolah puuwwenuuh banget, membesar-besarkan hal-hal kecil yang bikin kita jadi cemas dan gak karuan ? Momen seperti itu yang biasanya bikin orang bilang, "Lagi overthinking lu ya ?".

Secara bahasa, overthinking terdiri dari dua kata, "over" yang berarti berlebih dan "thinking" yang berarti pikiran. Jadi, overthinking itu kebanyakan pikiran. Menurut Ahmadi (2009), overthinking merupakan suatu proses penyelesaian masalah atau proses berpikir yang terlalu berlebihan sehingga memberikan kerugian dan manfaat yang tergantung intensitas yang dilakukan.

            Di antara tanda seseorang mengalami overthinking, menurut Morin (2020), sebagai berikut:

  • Merasa bersalah atau malu terhadap apa yang telah terjadi secara berulang.
  • Sering meragukan diri sendiri dengan bertanya "what if" (gimana kalo......).
  • Sering tersesat dengan pikiran di masa lalu dan mencoba membayangkan masa depan.
  • Memiliki kesulitan untuk tidur dan mengontrol pikiran untuk berhenti.
  • Ketika merasakan emosi negatif, cenderung memikirkan secara berlebih masalah yang ada.
  • Mengulang pikiran tentang perkataan orang lain terhadap dirinya atau perkataan dirinya terhadap orang lain.
  • Mengkhawatirkan sesuatu yang tiada kontrol atas dirinya.
  • Merasa lelah dan sangat kesulitan membuat keputusan.

Dengan begitu, overthinking akan memberikan efek negatif bagi seseorang, seperti insomnia, negative thinking, stress, pola tidur tidak sehat, dan membuat badan cepat lelah karena energinya dipakai buat memikirkan hal-hal yang sebetulnya "ga gitu juga". Hmm .. terus gimana dong biar ga overthinking ?

Al-Razi, sebagai filsuf yang care terhadap isu moral atau akhlak berkomentar tentang hal ini dalam kitab al-Thibb al-Ruhani (Pengobatan Ruhani), tepatnya dalam pembahasan "Ihwal Menghalau Kecemasan dan Kegelisahan yang Merugikan".

Bagi al-Razi, kecemasan dan kegelisahan -- yang merupakan gejala identik dari overthinking -- merupakan afeksi akal. Artinya kedua gejala tersebut merupakan aktivitas dari jiwa rasional yang hanya dimiliki manusia. Hewan atau makhluk lain ga ada yang pernah overthinking. Fenomena ini khusus punya manusia karena hanya manusia yang memiliki dimensi jiwa rasional.

Dalam eksistensialisme pun, kita akan mendapati bahwa kecemasan berkaitan erat dengan eksistensi individu manusia. Dalam 'Ada'-nya manusia sudah terdapat kebebasan berupa menentukan pilihan. Penentuan ini mengandaikan adanya pengetahuan yang memiliki kebenaran subyektif yang belum tentu sama dengan kebenaran obyektif. 

Makanya, seorang individu sering merasa ragu dan kebingungan, khawatir tindakan yang dianggap benar olehnya ga sesuai ekspektasi.

Al-Razi mengutip Plato (427-347 SM) yang membagi jiwa dalam tiga bagian; jiwa nabati, jiwa hewani, dan jiwa rasional. Jiwa hewani dan nabati diciptakan sebagai instrumen bagi jiwa rasional. Secara fungsional, jiwa rasional juga memiliki nilai kekurangan dan berlebihan.

Jiwa rasional dikatakan gagal atau kekurangan jika tidak mau memikirkan dan merenungi dunia atau alam serta menemukan segala yang dikandungnya. Dan dikatakan berlebihan jika dikuasi berbagai pemikiran tentang berbagai hal tersebut sampai kurang tidur, kurang makan, dan kurang istirahat sehingga otak tidak terpelihara kesehatannya. Keberlebihan (ghuluw)nya jiwa rasional inilah yang disebut overthinking.

Si overthinker ini, kata al-Razi, sangat ambisius untuk mewujudkan segalanya sesingkat-singkatnya. Sehingga kondisi tubuhnya kacau, mudah depresi, dan murung. Dengan begitu, justru apa yang diinginkannya tidak tercapai.

Maka, kata al-Razi, seorang yang berakal sehat harus mengistirahatkan tubunya dari kecemasan dan kegelisahan yang berlebih ini serta memenuhinya dengan hiburan dan kesenangan (healing) sekadar untuk memelihara kebugaran jasmani sehingga dapat berkreasi kembali untuk mencapai tujuannya.

Sebagai ibarat, al-Razi menggambarkan bahwa tujuan seorang musafir memberi makan kudanya bukanlah memenuhi kesenangan untuk makan, melainkan membuatnya kuat agar kuda itu dapat mengantarnya ke rumah penginapannya dengan aman. Begitulah seharusnya kita menjaga tubuh kita. Dengan begitu, kita akan dapat sampai pada tujuan kita dalam waktu singkat.

Al-Razi juga mencontohkan, semisal ada seorang murid yang belajar filsafat, lalu berambisi menandingi Socrates, Plato, Aristoteles, Theophrastus, Eudemus, Chrysippus, Themistius, dan Alexander Aphrodisias dalam waktu setahun.

Dan karena sebegitu keras ketekunannya, ia lupa makan, lupa tidur, dan kurang istirahat. Kata al-Razi, orang ini adalah 'mangsa empuk' dari angan-angan, kemurungan, sering sakit, dan kesia-siaan. Namun al-Razi juga mengingatkan, bahwa sikap sebaliknya, yakni belajar filsafat sesekali dan baru sedikit belajarnya udah bosan dan menghentikan belajarnya, juga akan membuat murid itu tidak berhasil. 

Keduanya mencapai kegagalan karena yang pertama berlebihan dan yang kedua ogah-ogahan. Oleh karena itu, al-Razi menyarankan untuk bersikap moderat dalam kecemasan dan kegelisahan jika ingin mencapai apa yang kita inginkan. Intinya, jangan perfeksionis amat kalo pengen ngelakuin sesuatu.

Dari uraian tersebut, bisa kita tarik kesimpulan ya Sobat Mantap. Bahwa kegelisahan atau kecemasan memang tidak dapat dihilangkan dari individu manusia karena manusia memiliki jiwa rasional yang berpengetahuan sehingga bebas menentukan pilihan yang menurutnya benar. 

Kecemasan adalah kebebasan yang bingung. Namun dua gejala tersebut harus disikapi sedemikian moderat sehingga kemauan dan semangat untuk mencapai tujuan tetap terpelihara, namun tidak terjebak dalam efek negetif overthinking yang merupakan berlebihannya jiwa rasional. Kalo udah begini, kata al-Razi, "jangan lupa healing !".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun