Makanya, seorang individu sering merasa ragu dan kebingungan, khawatir tindakan yang dianggap benar olehnya ga sesuai ekspektasi.
Al-Razi mengutip Plato (427-347 SM) yang membagi jiwa dalam tiga bagian; jiwa nabati, jiwa hewani, dan jiwa rasional. Jiwa hewani dan nabati diciptakan sebagai instrumen bagi jiwa rasional. Secara fungsional, jiwa rasional juga memiliki nilai kekurangan dan berlebihan.
Jiwa rasional dikatakan gagal atau kekurangan jika tidak mau memikirkan dan merenungi dunia atau alam serta menemukan segala yang dikandungnya. Dan dikatakan berlebihan jika dikuasi berbagai pemikiran tentang berbagai hal tersebut sampai kurang tidur, kurang makan, dan kurang istirahat sehingga otak tidak terpelihara kesehatannya. Keberlebihan (ghuluw)nya jiwa rasional inilah yang disebut overthinking.
Si overthinker ini, kata al-Razi, sangat ambisius untuk mewujudkan segalanya sesingkat-singkatnya. Sehingga kondisi tubuhnya kacau, mudah depresi, dan murung. Dengan begitu, justru apa yang diinginkannya tidak tercapai.
Maka, kata al-Razi, seorang yang berakal sehat harus mengistirahatkan tubunya dari kecemasan dan kegelisahan yang berlebih ini serta memenuhinya dengan hiburan dan kesenangan (healing) sekadar untuk memelihara kebugaran jasmani sehingga dapat berkreasi kembali untuk mencapai tujuannya.
Sebagai ibarat, al-Razi menggambarkan bahwa tujuan seorang musafir memberi makan kudanya bukanlah memenuhi kesenangan untuk makan, melainkan membuatnya kuat agar kuda itu dapat mengantarnya ke rumah penginapannya dengan aman. Begitulah seharusnya kita menjaga tubuh kita. Dengan begitu, kita akan dapat sampai pada tujuan kita dalam waktu singkat.
Al-Razi juga mencontohkan, semisal ada seorang murid yang belajar filsafat, lalu berambisi menandingi Socrates, Plato, Aristoteles, Theophrastus, Eudemus, Chrysippus, Themistius, dan Alexander Aphrodisias dalam waktu setahun.
Dan karena sebegitu keras ketekunannya, ia lupa makan, lupa tidur, dan kurang istirahat. Kata al-Razi, orang ini adalah 'mangsa empuk' dari angan-angan, kemurungan, sering sakit, dan kesia-siaan. Namun al-Razi juga mengingatkan, bahwa sikap sebaliknya, yakni belajar filsafat sesekali dan baru sedikit belajarnya udah bosan dan menghentikan belajarnya, juga akan membuat murid itu tidak berhasil.Â
Keduanya mencapai kegagalan karena yang pertama berlebihan dan yang kedua ogah-ogahan. Oleh karena itu, al-Razi menyarankan untuk bersikap moderat dalam kecemasan dan kegelisahan jika ingin mencapai apa yang kita inginkan. Intinya, jangan perfeksionis amat kalo pengen ngelakuin sesuatu.
Dari uraian tersebut, bisa kita tarik kesimpulan ya Sobat Mantap. Bahwa kegelisahan atau kecemasan memang tidak dapat dihilangkan dari individu manusia karena manusia memiliki jiwa rasional yang berpengetahuan sehingga bebas menentukan pilihan yang menurutnya benar.Â
Kecemasan adalah kebebasan yang bingung. Namun dua gejala tersebut harus disikapi sedemikian moderat sehingga kemauan dan semangat untuk mencapai tujuan tetap terpelihara, namun tidak terjebak dalam efek negetif overthinking yang merupakan berlebihannya jiwa rasional. Kalo udah begini, kata al-Razi, "jangan lupa healing !".