Aku tak takut sama sekali pada Bu Aisha. Aku cuma takut pada bapak. Percuma saja, toh Bu Aisha cuma perempuan. Perempuan bisa apa, paling-paling cuma menangis.
Aku berdiri di depan kelas. Tidak merasa bersalah.
“Kenapa kamu mengganggu temanmu, Rozi?” tanya Bu Aisha. Nadanya lembut, tidak setegas ketika memanggilku tadi.
“Saya tidak ada kerjaan, Bu,” jawabku acuh. Kedengarannya seperti tantangan. Tak heran Bu Aisha terpana mendengarnya. Tidak menyangka keluar jawaban seperti itu.
“Bukankah kamu sudah tahu bahwa di kelas harus diam dan mendengarkan penjelasan dari gurumu? Kamu juga tidak boleh mengganggu temanmu,” jelasnya masih lembut.
“Kata-kata ibu tidak bisa dipercaya.” Bu Aisha kembali terpana, kali ini lebih lama. Bingung bercampur heran.
“Rozi, tidak baik bicara seperti itu. Siapa yang mengajari kamu?”
“Bapak yang melarang saya percaya pada orang komunis. Ibu bilang matahari dan bumi tercipta dari gas yang meledak. Padahal semua ini kan ciptaan Tuhan. Berarti ibu syirik, tidak percaya Tuhan. Ibu komunis!”
Air muka Bu Aisha merah padam. Salah tingkah, bingung menjawab. Entah apa yang mengisi benaknya. Dia cuma mengelus dada hilang kata-kata.
Aku semakin yakin pada bapakku. Ternyata Bu Aisha memang syirik dan komunis. Buktinya dia tidak berusaha membantahku. Lihatlah wajahnya yang malu dan merah padam. Berarti yang kukatakan tadi benar.
Bapakku memang luar biasa. Semua orang kampung juga menghormatinya. Bapak biasa memberi khotbah saat sholat Jumat. Kadang-kadang diundang memberi ceramah pengajian. Kampung-kampung sebelah juga sering mengundang bapak. Bahkan pernah lima kali bapakku diundang mengisi pengajian di luar kota. Bapak pandai sekali menyitir ayat suci atau hadits. Itulah sebabnya semua orang tunduk dan tidak berani membantahnya.