Media sosial hadir tanpa struktur. Tak mengenal hirarkis. Bebas dari panduan nilai-nilai kelaziman sosial (misalnya sopan santun, saling menghargai). Media sosial juga nyaris mewadahi apa saja, mulai dari informasi bermutu sampai informasi sampah yang membahayakan (misalnya fitnah dan olok-olok, bahkan isu rasial dan sektarian). Inilah titik lemah media sosial.
Jadi jelas, tantangan yang paling dasar dari kekuatan media sosial justru ada dalam dirinya sendiri (yakni pada sistem fungsi dan sistem operasi, yang terlepas dari aturan main).
Terakhir kita juga dikejutkan oleh penangkapan MS, yang melakukan penghinaan terhadap Presiden Jokowi. Lepas dari pro kontra yang berlangsung, secara pribadi saya melihat ini adalah contoh buruk dari perilaku bermedia sosial yang lepas kendali. Bila asusmsi yang dibangun adalah: demokrasi harus bersandar pada moralitas, maka media sosial sebagai penopang demokrasi, juga harus kita fungsikan dalam koridor moralitas. Tak boleh orang seenaknya melakukan penghinaan, menguar-uar kebencian, dan mempertontonkan kebencian secara vulgar. Begitu juga pejabat publik, termasuk Pak Jokowi, Pak JK, Pak Prabowo, Pak SBY, atau Pejabat Publik lainnya, juga harus tetap kita hormati. Mereka adalah juga insan biasa, yang butuh diperlakukan adil.
Jalan ke luar yang bisa dilakukan, agar media sosial menjadi alat kemaslahatan bersama, dan menumbuhkan demokrasi yang bermartabat adalah: lakukan sosialisasi dan edukasi melek media, atau media literacy.
Media literacy (pendidikan bermedia) bisa berlangsung dalam lima proses dasar. Pertama, sosialisasi payung hukum dan pedoman hukum positif yang berkaitan (misalnya UU ITE, yang bisa menjerat orang yang mempublikasikan kejahatan via media sosial). Kedua, penumbuhan sikap bertanggungjawab dalam bermedia sosial, yakni membiasakan kepada para user media sosial untuk menolak menyebar kepalsuan dan kebohongan, karena tindakan itu tidak bertanggungjawab.
Ketiga, peneybarluasan aksi-aksi dan kampanye penggunaan media sosial secara positif, misalnya dalam rangka mencari ilmu pengetahuan, berbagi pelajaran kehidupan yang baik, saling berbagai inspirasi, dan lain sebagainya.
Keempat, meyakinkan publik bahwa media sosial adalah penunjang utama demokrasi, olehnya mereka harus bersikap bijak dan kritis, tidak ikut-ikutan dan larut dalam histeria massa (sebagaimana yang terjadi dalam ajang Pilres lalu).
Kelima, yang terakhir, semua pihak membiasakan diri untuk memanfaatkan media sosial dalam program-program kerja yang produktif. Mulai dari pemerintah, politisi, swasta, dan kalangan masyarakat madani lain, harus rajin membuat konten yang bermanfaat di media sosial.
Jika ini dilakukan, Insya Allah, publik memiliki banyak pilihan, agar tak selalu mengulang tabiat buruk dalam bermedia sosial, yakni semata menjadikan alat narsis, hedonis, dan pengumbar hawa nafsu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H