Mohon tunggu...
Andi Taufan Tiro
Andi Taufan Tiro Mohon Tunggu... -

Anggota DPR RI, Fraksi Partai Amanat Nasional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilar Kelima Demokrasi: Media Sosial

30 Oktober 2014   23:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:07 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dulu pernah lahir adagium: pers sebagai pilar  ke empat demokrasi. Pilar di sini maksudnya adalah kekuatan yang menopang atau menunjang demokrasi. Posisi ke empat itu bersifat non sekuensial alias tak berurutan, melainkan hanya posisi saja, setelah eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Bantal argumen bahwa pers juga bisa memainkan kekuasaan politik bersumber dari fungsi standarnya. Yakni sebagai penyebar informasi (to inform), penguat pengetahuan dan pendidikan (to educate), penopang sosialisasi nilai sosial dan budaya (to socialize), dan berperan mempengaruhi opini dan kebijakan publik (to influence). Bagian akhir ini, yaitu mempengaruhi opini dan kebijakan publik, yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan politik. Beberapa kalangan bahkan menyebutnya sebagai "peran kontrol politik" dari pers.

Namun dalam kenyataannya, kekuatan faktual pers sebagai kekuatan ke empat demokrasi ini terbilang turun naik. Ada kalanya pers begitu kuat, tetapi di lain waktu melemah. Tentu semua tergantung dari posisi struktur dan sistem kekuasaan yang tengah berlangsung. Pakar politik di era lalu, Alfian, menyebut rezim Orde Baru adalah salah satu struktur kekuasaan politik yang memainkan pers dengan lihai. Kadang pers diberi ruang untuk bersuara bebas. Tetapi di lain waktu malah dibungkam. Mirip seperti permainan gelang karet, diulur dan ditarik.

Kalau mau melongok ke catatan historis, sesungguhnya negeri ini sangat berpengalaman dengan daya dobrak pers dalam melakukan perubahan-perubahan politik. Nyaris seluruh founding fathers (para Bapak Bangsa), adalah praktisi pers, dan mereka rajin menulis serta mempublikasikan gagasan-gagasan besar tentang kemerdekaan. Kegiatan publikasi yang gencar ini, di era pers perjuangan, tentu berdampak sangat besar, mampu mengikat memori publik untuk sama-sama bangkit berjuang.

Lalu cermin sejarah yang paling dekat adalah di masa reformasi ini. Pers begitu digdaya. Malah kekuatannya hadir berlipat lipat. Selain digawangi oleh insan-insan media yang terdidik, terampil, dalam jumlah banyak, juga memanfaatkan teknologi infomasi. Pers hidup dalam kebebasan demokrasi.

Lalu Kini?

Perkembangan terkini seperti terjadi gelombang dahsya yang penuh kejutan. Dengan hadirnya jejaring sosial dan media sosial, maka seolah terjadi perkawinan (konvergensi) antara pers dengan media sosial. Terjadi simbiosis mutualisme, kerjasama yang saling menguntungkan, antara media sosial dengan pers (umum). Dua kekuatan media ini saling topang, saling bantu, saling menyebarkan, dan jika menyatu dalam menyoroti suatu kasus, maka efeknya sungguh dahsyat.

Orang mungkin masih ingat, kasus Prita Mulyasari vs RS. Omni Internasional, kasus Cicak vs Buaya, dan peristiwa-peristiwa lain yang mengharu biru memori publik. Contoh-contoh tersebut, bukti sinergi bersama antara pers umum dengan media sosial, dalam mendobrak opini dan kebijakan publik. Perpaduan pers dan media sosial juga mempengaruhi "wacanan politik" atau "angin politik" di negeri ini.

Pilar Kelima

Melihat begitu besar daya dobrak dan daya opini media sosial, maka wahana berkomunikasi era internet ini potensial menjadi kekuatan demokrasi kelima, atau pilar kelima demokrasi.

Namun di balik itu, harus ada kehati-hatian dalam menerima potensi bebas dari media sosial. Karena di dalam dirinya juga ada potensi anti sosial, anti demokrasi, dan anti nilai-nilai kepatutan. Hendaknya peristiwa dalam ajang Pilpres yang lalu harus jadi pelajaran bersama.

Media sosial hadir tanpa struktur. Tak mengenal hirarkis. Bebas dari panduan nilai-nilai kelaziman sosial (misalnya sopan santun, saling menghargai). Media sosial juga nyaris mewadahi apa saja, mulai dari informasi bermutu sampai informasi sampah yang membahayakan (misalnya fitnah dan olok-olok, bahkan isu rasial dan sektarian). Inilah titik lemah media sosial.

Jadi jelas, tantangan yang paling dasar dari kekuatan media sosial justru ada dalam dirinya sendiri (yakni pada sistem fungsi dan sistem operasi, yang terlepas dari aturan main).

Terakhir kita juga dikejutkan oleh penangkapan MS, yang melakukan penghinaan terhadap Presiden Jokowi. Lepas dari pro kontra yang berlangsung, secara pribadi saya melihat ini adalah contoh buruk dari perilaku bermedia sosial yang lepas kendali. Bila asusmsi yang dibangun adalah: demokrasi harus bersandar pada moralitas, maka media sosial sebagai penopang demokrasi, juga harus kita fungsikan dalam koridor moralitas. Tak boleh orang seenaknya melakukan penghinaan, menguar-uar kebencian, dan mempertontonkan kebencian secara vulgar. Begitu juga pejabat publik, termasuk Pak Jokowi, Pak JK, Pak Prabowo, Pak SBY, atau Pejabat Publik lainnya, juga harus tetap kita hormati. Mereka adalah juga insan biasa, yang butuh diperlakukan adil.

Jalan ke luar yang bisa dilakukan, agar media sosial menjadi alat kemaslahatan bersama, dan menumbuhkan demokrasi yang bermartabat adalah: lakukan sosialisasi dan edukasi melek media, atau media literacy.

Media literacy (pendidikan bermedia) bisa berlangsung dalam lima proses dasar. Pertama, sosialisasi payung hukum dan pedoman hukum positif yang berkaitan (misalnya UU ITE, yang bisa menjerat orang yang mempublikasikan kejahatan via media sosial). Kedua, penumbuhan sikap bertanggungjawab dalam bermedia sosial, yakni membiasakan kepada para user media sosial untuk menolak menyebar kepalsuan dan kebohongan, karena tindakan itu tidak bertanggungjawab.

Ketiga, peneybarluasan aksi-aksi dan kampanye penggunaan media sosial secara positif, misalnya dalam rangka mencari ilmu pengetahuan, berbagi pelajaran kehidupan yang baik, saling berbagai inspirasi, dan lain sebagainya.

Keempat, meyakinkan publik bahwa media sosial adalah penunjang utama demokrasi, olehnya mereka harus bersikap bijak dan kritis, tidak ikut-ikutan dan larut dalam histeria massa (sebagaimana yang terjadi dalam ajang Pilres lalu).

Kelima, yang terakhir, semua pihak membiasakan diri untuk memanfaatkan media sosial dalam program-program kerja yang produktif. Mulai dari pemerintah, politisi, swasta, dan kalangan masyarakat madani lain, harus rajin membuat konten yang bermanfaat di media sosial.

Jika ini dilakukan, Insya Allah, publik memiliki banyak pilihan, agar tak selalu mengulang tabiat buruk dalam bermedia sosial, yakni semata menjadikan alat narsis, hedonis, dan pengumbar hawa nafsu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun