Mohon tunggu...
Taufan Sopian Riyadi
Taufan Sopian Riyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Kretekus

Warga biasa yang kebetulan suka nulis https://taufansopian.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lompatan Keberimanan

21 Maret 2019   12:08 Diperbarui: 21 Maret 2019   12:19 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Perkembangan suatu peradaban dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya adalah agama. Di kemudian hari manusia mengenal ragam jenis agama serta klaim-klaim kebenarannya masing-masing. Tiap agama pun membuka jalan keselamatan bagi pengikutnya, utamanya dalam hal-hal yang bersifat eskatologis.

Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia selanjutnya akan memasuki wilayah antropologis dan sosiologis yang multi tafsir. Hal tersebut berdampak pada tingkat kebenaran dari agama menjadi relatif. Bercampurnya hal-hal yang bersifat sakral dan profan senantiasa berdampak pada kekeliruan dan cara pandang manusia terhadap agama. Oleh sebab itu, mempercayai suatu agama dan menjalankan segala ajarannya memerlukan penelaahan mendalam. Semua ajaran agama harus melalui proses penelaahan agar mendapatkan objektifitas yang memiliki kebenaran yang layak untuk diyakini dan dipraktikan.

Saat ini, terdapat dua sikap yang ditampilkan dalam memperlakukan agama, yang kedua-duanya justru membahayakan bagi agama itu sendiri. Sebagian menganggap agama tidak lagi relevan dengan rasionalitas zaman-karena apa yang ditawarkan agama sudah dapat dipenuhi oleh modernitas. Sebaliknya, sebagian yang lain menjalankan agama dengan fanatisme berlebihan hingga agama menjelma menjadi doktrin yang dibarengi sikap kaku terhadap berbagai perubahan dunia, keras terhadap kehadiran (paham) orang lain, dan cenderung tertutup.

Misalnya saja kelompok yang menganggap bahwa ajaran-ajaran yang terdapat dalam Islam sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman saat ini. Mereka mendasarkan dalilnya kepada paham-paham filsafat barat yang pada dasarnya merupakan hasil sekulerisasi dari paham gereja. Maka yang adalah kesetisasi, di mana Islam menjadi keset untuk mengakomodir wacana-wacana barat. 

Sementara itu, di sisi lain timbul kelompok-kelompok yang begitu fanatik dalam menjalankan keberislamannya. Konsep kebenaran sudah terhenti, seolah kebenaran yang hakiki hanya bersumber dari kelompoknya dan memandang paham lain itu bertentangan dengan Islam, mudah untuk mem-bid'ah-kan orang lain.

Melihat kondisi tersebut, rasanya buku yang ditulis Komaruddin Hidayat yang berjudul Iman Yang Menyejarah ini cukup relevan untuk menjadi bahan perenungan. Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama, mencoba mengemukakan ihwal manusia. Mas komar mencoba menelusuri kehadiran manusia di muka bumi. manusia hadir di muka bumi dalam situasi terlempar. Dalam arti, manusia tidak pernah memilih untuk dilahirkan dan harus menerima dengan serta-merta kelahirannya. Akibatnya, hidup manusia diliputi keingin tahuan serta ketakutan terhadap dirinya sendiri. 

Manusia dalam keterlemparannya di muka bumi tidak mendarat dalam ruang hampa. Dalam keterlemparannya ia senantiasa disambut oleh tradisi orang tua, keluarga dan lingkungannya. Sehingga, dalam perjalannnannya, tradisi tersebut yang akan membentuk persepsi, cara berpikir, dan berprilaku. Hal tersebut dijabarkan dalam bab dua.

Dalam keterlemparan tersebut, manusia tidak hanya terdiri atas jasad, akan tetapi ia dibekali dengan akal-budi dimana dengan itu ia akan mengalami proses penafsiran-penafsiran terhadap segala sesuatu yang ditemuinya dimuka bumi. Penafsiran yang dilakukan tentunya bertahap, mulai penafsiran terhadap hal-hal trivial lalu berkembang terhadap penafsiran alam semesta dan bahkan pencipta alam semesta. Dengan begitu, manusia pada hakikatnya merupakan mahkluk penafsir seperti yang dijelaskan Mas Komar dalam bab tiga.

Keterlemparan manusia ke dunia membuatnya mengalami amnesia eksistensial, yaitu suatu keadaan dimana manusia tidak mengetahui atas keimanan yang pernah diikrarkan di alam ruh QS. Al-A'raf [7]:172. Untuk itu,Allah Swt mengutus para nabi untuk mengingatkan manusia terhadap apa yang pernah mereka ikrarkan. Untuk itu, dalam Islam tidak dikenal adanya pembagian antara hal-hal yang sakral dan profan. Semua yang ada merupakan tanda dan jejak keberadaan Tuhan. Spiritualitas, sains, pranata sosial dan demografi merupakan pilar dalam membangun peradaban. Semua hal tersebut dikupas lebih jauh dalam bab empat ihwal agama, spiritualitas dan peradaban.

Ketika berbicara terkait Iman maka tidak hanya merujuk pada sumber agama dan spiritualitas. Iman juga meninggalkan dan mengukir jejak sejarah. Iman memiliki dampak terhadap kepribadian seseorang dan juga berdampak pada unit budaya. Karena iman meninggalkan jejak sejarah terhadap unit budaya maka dalam perkembangannya kita menemukan suatu kombinasi antara kebudayaan yang ada dalam suatu unit budaya dengan doktrin agama yang berkembang. Praktik keagamaan, tempat-tempat peribadatan adalah contoh dimana kebudayaan menjadi salah satu faktor dalam perkembangan agama. Namun, adakalanya manusia sulit membedakaan mana yang termasuk doktrin keagamaan dan mana yang kebudayaan. Mas Komar mencoba untuk menguraikannya pada bab lima tentang jejak-jejak iman.

Dalam sejarah, abad pertengahan merupakan periode dimana nilai-nilai keagamaan diyakini sebagai pengendali jalannya kehidupan serta penjaga keseimbangan kosmik. Seiring berjalannya waktu, keyakinan seperti itu cenderung menurun, bahkan ada yang berkesimpulan bahwa agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi keberadaannya karena kemajuan sains dan teknologi sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan riil manusia. Namun, dalam kenyataannya hal tersebut tidak terjadi. Hingga abad ke-21 agama dan Tuhan tetap hidup di tengah masyarakat. namun, kehadiran agama yang semarak di ruang publik  bisa menimbulkan kebanggaan juga kekhawatiran. Lantas apa yang patut di banggakan dan dikhawatirkan dari semaraknya agama di ruang publik? Mari kita menelaah lebih jauh gagasan Mas Komar dalam bab enam buku ini.

Bab terakhir dalam buku ini membahas ihwal keberimanan yang melampaui agama, Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia memiliki potensi pembebasan. Namun, keserakahan manusia yang menginginkan akumulasi keuntungan-anasir kapitalisme-menjadikan manusia sebagai budak dari uang dan hal-hal materiel lainnya. Keserakahan kapitalisme menghasilkan banyak sisi gelap, relasi-relasi manusia baik individu maupun sosial selalu dikalkulasi dengan pertimbangan untung-rugi finansial. Kapitalisme menempatkan manusia melalui dimensinya yang materel (nasut). Sementara dimensi ketuhanan (lahut) dalam diri manusia dianggap tidak relevan. Dimensi lahut memberi makna bahwa manusia hadir dengan potensi untuk beriman dan keimanan tersebut melampaui agama (organized religion).

Dari apa yang telah diungkapkan Mas Komar melalui ketujuh bab dalam bukunya, ia mengalami "lompatan" dalam keberimanan/keberislamannya. Keberimanan/keberislamannya dimulai dari lingkungan keluarga dan tradisi. Kemudian seiring bertambahnya usia dan pengalaman hidup, beliau menafsirkan iman yang selama ini ia yakini. Sederhananya, beliau menjelajahi iman melalui tiga pintu. 

Pertama, melalui pintu risalah, yaitu manifestasi ajaran Tuhan yang terhimpun dalam panduan praksis kehidupan, berupa perintah dan larangan agama. Pada keberagamaan level ini, seseorang dituntut untuk taat prosedur aturan hukum, terlepas paham atau tidak terhadap apa yang dilakukannya. Jika melaksanakan mendapatkan pahala, jika melanggar diancam dengan dosa dan siksa.

Kedua, melalui pintu nubuwwah. Pada tahap nubuwwah, agama dan Tuhan tak terhindar dari kontruksi penalaran para ulama, hal tersebut karena manusia sebagai subjek yang mencari dan Tuhan sebagai objek yang dicari posisinya masih berjarah sangat jauh jika dijangkau melalui nalar manusia yang terbatas. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab agama sering kali muncul ikhtilaf diantara para ulama.

Ketiga, naik ke level makrifah, haqiqah, atau wilayah. Pada tahap ini, sudah tidak ada jarak lagi antara Tuhan dan Hamba, karena yang bekerja pada tahap ini bukan nalar, melainkan hati. Pada tahap ini para pencari kebenaran ingin mengenal tuhan bukan melalui conceptual knowledge, melainkan melalui experiencial knowledge atau knowledge by presence (hudhuri).

Jika melihat ketiga tahap tersebut dapat dikatakan bahwa Iman merupakan suatu "lompatan", tetapi bukan lompatan yang tiba-tiba, ia melalui proses berpikir dan penziarahan yang panjang sampai pada titik yang tak terbatas. Persoalannya saat ini, tanpa melalui proses berfikir dan pengembaraan intelektual yang cukup, sebagian orang tiba-tiba melompat menuju iman. Karena itu, lompatannya sering kali meleset tidak sampai kepada tujuan, sehingga melahirkan "fanatisme" yang destruktif. Beragama dengan marah. Bukan ramah dan menentramkan. Sehingga, Lompatan yang terjadi merupakan lompatan dari titik ekstrim satu menuju titik ekstrim lainnya.


Judul buku: Iman Yang Menyejarah
Penulis: Komaruddin Hidayat
Penerbit: Noura Publishing
Cetakan: Pertama, November 2018
Tebal buku: liv+210 halaman
ISBN: 978-602-385-637-4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun