Bab terakhir dalam buku ini membahas ihwal keberimanan yang melampaui agama, Agama sebagai pedoman hidup bagi manusia memiliki potensi pembebasan. Namun, keserakahan manusia yang menginginkan akumulasi keuntungan-anasir kapitalisme-menjadikan manusia sebagai budak dari uang dan hal-hal materiel lainnya. Keserakahan kapitalisme menghasilkan banyak sisi gelap, relasi-relasi manusia baik individu maupun sosial selalu dikalkulasi dengan pertimbangan untung-rugi finansial. Kapitalisme menempatkan manusia melalui dimensinya yang materel (nasut). Sementara dimensi ketuhanan (lahut) dalam diri manusia dianggap tidak relevan. Dimensi lahut memberi makna bahwa manusia hadir dengan potensi untuk beriman dan keimanan tersebut melampaui agama (organized religion).
Dari apa yang telah diungkapkan Mas Komar melalui ketujuh bab dalam bukunya, ia mengalami "lompatan" dalam keberimanan/keberislamannya. Keberimanan/keberislamannya dimulai dari lingkungan keluarga dan tradisi. Kemudian seiring bertambahnya usia dan pengalaman hidup, beliau menafsirkan iman yang selama ini ia yakini. Sederhananya, beliau menjelajahi iman melalui tiga pintu.Â
Pertama, melalui pintu risalah, yaitu manifestasi ajaran Tuhan yang terhimpun dalam panduan praksis kehidupan, berupa perintah dan larangan agama. Pada keberagamaan level ini, seseorang dituntut untuk taat prosedur aturan hukum, terlepas paham atau tidak terhadap apa yang dilakukannya. Jika melaksanakan mendapatkan pahala, jika melanggar diancam dengan dosa dan siksa.
Kedua, melalui pintu nubuwwah. Pada tahap nubuwwah, agama dan Tuhan tak terhindar dari kontruksi penalaran para ulama, hal tersebut karena manusia sebagai subjek yang mencari dan Tuhan sebagai objek yang dicari posisinya masih berjarah sangat jauh jika dijangkau melalui nalar manusia yang terbatas. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab agama sering kali muncul ikhtilaf diantara para ulama.
Ketiga, naik ke level makrifah, haqiqah, atau wilayah. Pada tahap ini, sudah tidak ada jarak lagi antara Tuhan dan Hamba, karena yang bekerja pada tahap ini bukan nalar, melainkan hati. Pada tahap ini para pencari kebenaran ingin mengenal tuhan bukan melalui conceptual knowledge, melainkan melalui experiencial knowledge atau knowledge by presence (hudhuri).
Jika melihat ketiga tahap tersebut dapat dikatakan bahwa Iman merupakan suatu "lompatan", tetapi bukan lompatan yang tiba-tiba, ia melalui proses berpikir dan penziarahan yang panjang sampai pada titik yang tak terbatas. Persoalannya saat ini, tanpa melalui proses berfikir dan pengembaraan intelektual yang cukup, sebagian orang tiba-tiba melompat menuju iman. Karena itu, lompatannya sering kali meleset tidak sampai kepada tujuan, sehingga melahirkan "fanatisme" yang destruktif. Beragama dengan marah. Bukan ramah dan menentramkan. Sehingga, Lompatan yang terjadi merupakan lompatan dari titik ekstrim satu menuju titik ekstrim lainnya.
Judul buku: Iman Yang Menyejarah
Penulis: Komaruddin Hidayat
Penerbit: Noura Publishing
Cetakan: Pertama, November 2018
Tebal buku: liv+210 halaman
ISBN: 978-602-385-637-4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H