Kalau perang itu sendiri identik dengan genjatan sejata, apakah perang itu masih ada sekarang? Dalam keadaan yang terlihat sudah terkondisikan, tidak adakah perang itu masih berlangsung? Sedangkan perang itu sendiri merupakan permusahan antara dua subjek, tidak hanya negara, suku, agama, ideologi, dsb.Â
Perang itu masih ada, banyak! Dan jika perang adalah sebuah peristiwa, maka kalau diurutkan rantai sebab-akibatnya bisa terjadi karena hal yang sangat sederhana.Â
Perang ada karena adanya permusuhan, yang terjadi karena budaya persaingan. Persaingan itu sendiri muncul oleh sebab adanya perbedaan. Jika perbedaan tidak bisa diterima, maka yang terjadi adalah pemaksaan ideologi/pola pikir dari salah satu pihak.
Politik, ekonomi, ideologi, menjadi medan peperangan yang tidak mungkin bisa dihentikan. Munculnya banyak komunitas atau kelompok bisa menjadi suatu tanda, bahwa begitu terawatnya budaya perang yang tidak bisa dikendalikan hanya dengan sebuah idiom "walaupun berbeda tetapi tetap satu jua".Â
Sebab toh, masih belum adanya kematangan dari manusia-manusia untuk memahami perbedaan. Bukan untuk disatukan, disamakan, diseragamkan, melainkan perbedaan itu ada merupakan suatu kekayaan.
Mengapa sebab-akibat itu sangat sederhana? Karena kewajiban belajar selalu mengacu pada nilai dan angka. Dalam acuan itu, para pelajar secara tidak langsung diajak untuk ikut berkompetisi. Meskipun dalam konteks yang positif, tapi positif itu sendiri kan juga merupakan sebuah hasil penilaian atas konsep berpikir sekelompok orang.Â
Karena apa? Dalam pencarian nilai ketika belajar, selalu muncul budaya persaingan. Bagus-bagusan nilai dan ranking, tidak peduli bagaimana cara untuk mendapatkannya.Â
Dari situ sudah ada peperangan. Kita dididik selama masih dalam proses pertumbuhan di ruang sistem pembelajaran yang diwajibkan. Kalau tidak masuk dalam circle pendidikan, ada konsekuensi yang panjang, terutama dalam lingkungan sosial. Kita seolah tidak bisa keluar, melainkan kita benar-benar siap untuk tidak mengajarkan anak-cucu budaya perang yang ada.
Jadi jangan berharap anak akan menang ketika mengarungi pendidikan formal, melainkan hanya mengenalkan anak untuk belajar berkomunikasi dan bersosial kepada masyarakat luas. Bisa mengenal perbedaan sejak dini dan menerimanya, bukan menafikkannya.Â
Belajar bertahan dalam begitu banyak mata pandang, dan memformulasikannya sehingga menjadi kebijaksanaan, bukan hanya mengerti bahwa cara pandangnya lah yang paling benar.Â
Sebab, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi kalau kita tidak dilatih mengenal perbedaan, yang pertama memaksakan kebenaran (zona nyaman) ; selanjutnya, kalau tidak diterima dan menjadi tidak nyaman, maka ia akan keluar atau memisahkan diri.
Lebih parah lagi, keterpisahan itu akan dilakukan sembari menabung dendam atau umpatan-umpatan bijak yang lain. Yang memurutnya benar. Orang jadi kurang bisa luwes dan menerima, bahwa semuanya bukan untuk diasingkan, dimenang-menangkan.Â
Ketika dirinya melakukan itu, berarti ia menganggap bahwa apa yang dilakukan adalah peperangan. Karena masih menganggap masih ada yang menang atau kalah. Baik atau buruk. Menyerah atau berjuang. Putus asa atau terus bersemangat.Â
Hal yang sederhana dalam pola pikir yang terbangun dalam ruang pendidikan menjadi suatu sifat ketika tumbuh dewasa. Dan sifat itu lambat laun akan berevolusi menjadi kebiasaan atau budaya dalam diri ataupuj kelompok. Dan kebudayaan yang dilestarikan akan membangun suatu peradaban. Ya, peradaban "perang".
Mencari kekuasaan, dan ketika tidak mendapati akan mencari wilayah lain. Mencari keuntungan, ketika tidak didapat akan mencari lahan yang lain. Mencari kehormatan, kalau tidak dimahkotai, maka akan mencari mehkota di tempat yang lain.Â
Mengapa kita tidak hentikan perang tersebut? Berkolaborasi, tidak hanya berkompetisi. Ataukah kita krisis pejuang, yang rela berkorban? Untuk rela tidak menjadi apa-apa, dan juga bukan siapa-siapa.Â
Meskipun tidak ada hasilnya, tapi sejauh mana engkau akan berusaha? Meskipun tidak dikenal, sejauh mana engkau mampu menerima dan setia? Meskipun tidak dianugerahi mahkota kemenangan, tapi sejauh mana engkau mampu menempa jiwa ksatriamu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H