Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peradaban "Perang"

8 Agustus 2022   16:56 Diperbarui: 8 Agustus 2022   17:03 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/Hasan-Almasi

Kalau perang itu sendiri identik dengan genjatan sejata, apakah perang itu masih ada sekarang? Dalam keadaan yang terlihat sudah terkondisikan, tidak adakah perang itu masih berlangsung? Sedangkan perang itu sendiri merupakan permusahan antara dua subjek, tidak hanya negara, suku, agama, ideologi, dsb. 

Perang itu masih ada, banyak! Dan jika perang adalah sebuah peristiwa, maka kalau diurutkan rantai sebab-akibatnya bisa terjadi karena hal yang sangat sederhana. 

Perang ada karena adanya permusuhan, yang terjadi karena budaya persaingan. Persaingan itu sendiri muncul oleh sebab adanya perbedaan. Jika perbedaan tidak bisa diterima, maka yang terjadi adalah pemaksaan ideologi/pola pikir dari salah satu pihak.

Politik, ekonomi, ideologi, menjadi medan peperangan yang tidak mungkin bisa dihentikan. Munculnya banyak komunitas atau kelompok bisa menjadi suatu tanda, bahwa begitu terawatnya budaya perang yang tidak bisa dikendalikan hanya dengan sebuah idiom "walaupun berbeda tetapi tetap satu jua". 

Sebab toh, masih belum adanya kematangan dari manusia-manusia untuk memahami perbedaan. Bukan untuk disatukan, disamakan, diseragamkan, melainkan perbedaan itu ada merupakan suatu kekayaan.

Mengapa sebab-akibat itu sangat sederhana? Karena kewajiban belajar selalu mengacu pada nilai dan angka. Dalam acuan itu, para pelajar secara tidak langsung diajak untuk ikut berkompetisi. Meskipun dalam konteks yang positif, tapi positif itu sendiri kan juga merupakan sebuah hasil penilaian atas konsep berpikir sekelompok orang. 

Karena apa? Dalam pencarian nilai ketika belajar, selalu muncul budaya persaingan. Bagus-bagusan nilai dan ranking, tidak peduli bagaimana cara untuk mendapatkannya. 

Dari situ sudah ada peperangan. Kita dididik selama masih dalam proses pertumbuhan di ruang sistem pembelajaran yang diwajibkan. Kalau tidak masuk dalam circle pendidikan, ada konsekuensi yang panjang, terutama dalam lingkungan sosial. Kita seolah tidak bisa keluar, melainkan kita benar-benar siap untuk tidak mengajarkan anak-cucu budaya perang yang ada.

Jadi jangan berharap anak akan menang ketika mengarungi pendidikan formal, melainkan hanya mengenalkan anak untuk belajar berkomunikasi dan bersosial kepada masyarakat luas. Bisa mengenal perbedaan sejak dini dan menerimanya, bukan menafikkannya. 

Belajar bertahan dalam begitu banyak mata pandang, dan memformulasikannya sehingga menjadi kebijaksanaan, bukan hanya mengerti bahwa cara pandangnya lah yang paling benar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun