Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petani: Pahlawan yang Tidak Dianggap

2 Agustus 2022   07:01 Diperbarui: 2 Agustus 2022   07:06 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu yang mengherankan dari dunia ekonomi bahwa ternyata adanya sektor produksi yang tidak bisa menentukan harga jual sendiri, yakni petani. Ruang bercocok tanam juga merupakan pabrik penghasil bahan-bahan pokok makanan. 

Akan tetapi, tidakkah mereka dipaksa untuk mengikuti harga jual dari para tengkulak? Padahal, mereka juga membutuhkan modal untuk menanam bibit di lahannya, yang mana itu juga tidak sedikit.

Kalau alasannya agar harga kebutuhan pokok stabil, apakah itu termasuk dalam sila manusia yang adil dan beradab? Para petani berangkat semenjak matahari keluar hingga hampir terbenam, dengan keringat dari tenaga yang dikeluarkan, namun mereka seringkali mendapat hasil yang tidak seberapa dari modal yang telah dikeluarkan, bahkan tak ayal merugi. 

Oleh karena itu, jadi tengkulak atau distributor hasil pertanian, bahkan eyek (jualan sayur dengan menggunakan sepeda motor), jauh lebih menjanjikan daripada menjadi petani itu sendiri. Mereka lebih bisa meminimalisir kerugian. Ketika harga yang ditawarkan kepada petani bagus, tapi mereka mendapatkan untung yang lebih signifikan. 

Akan tetapi jika yang ditawarkan rendah, mereka memberikan alasan karena mereka harus menutup kerugian karena barangnya tidak laku, juga karena persaingan dan ketersediaan barang yang melimpah. Jika keadaan seperti itu, mengapa petani yang harus menanggung beban? 

Dinas yang fokus pada pertanian pun setelah sekian puluh tahun pasca kemerdekaan seolah tidak pernah serius untuk memperhatikan nasib para petani. Mereka justru diuntungkan dengan mayoritas psikologi petani yang menganut keyakinan "berapapun hasilnya, banyak atau sedikit tetap disyukuri, itulah pemberian Tuhan". 

Jadi, jangan kaget kalau beberapa tahun ke depan, petani yang dimaksud adalah buruh tani. Karena lahan milik mereka sedikit demi sedikit dijual untuk menyeimbangkan diri dengan laju zaman. Lantas, sang hokage mengidamkan anak cucu bangsa agar memiliki cita-cita sebagai petani? 

Kalau iya dan ada pun, mereka pasti berpikiran bahwa mereka bertani dengan lahannya sendiri. Pekerjaan sebagai petani hasilnya tidak bisa dijamin oleh diri sendiri, hanya mengikuti harga pasar yang dikontrol oleh sebagian mafia atau pemain lama. 

Sedangkan yang begitu dianggap sebagai hasil yang diberikan alam. Mereka membangun rumah-rumah megah dan kendaraan yang semakin besar untuk mengangkut hasil pertanian, akan tetapi para petani tetap hidup seadanya.

Tapi, jika ini dilantangkan juga berarti tanpa konsekuensi. Ketika kita menengok kebelakang, kita bisa juga dianggap antek komunis, yang kala itu mempersenjatai para petani. Niat baik yang berlebihan dan tidak sabar juga akan mengganggu keharmonisan yang telah tercipta. 

Atau mungkin berpotensi menghalangi penguasaan pasar yang telah terstruktur, sehingga jalan-jalan strategis keuntungan jangan sampai dikuasai oleh khalayak, kecuali oknum-oknum tertentu saja. 

Kalau kita berupaya membeli dan memanfaatkan lahan, bisa juga kita dilabeli kapitalis. Belum lagi kepemilikan lahan yang luas bisa dikata feodalis. Dan semua itu hanyalah label atau simbol yang sesungguhnya bukan untuk pertengkaran, namun hanya pengenalan. 

Manusia itu terkadang unik, hanya untuk mencukupi kebutuhan dasar hidup mereka rela melakukan protes turun ke jalan jika harga sedikit dinaikkan. 

Akan tetapi, jika untuk menuruti keinginan, mereka rela mengeluarkan biaya berapapun demi yang namanya gengsi atau harga diri. Ini baru konteks kebutuhan pangan, belum lagi terkait listrik, BBM, pulsa, dsb. 

Pemerintah sering mengeluarkan subsidi, tapi bukankah itu hal yang lumrah jika itupun diambil gratis dari alam yang gemah ripah loh jinawi? Kalau kata band legendaris Koes Plus "tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman".

Tentu ini tidak hanya disadari oleh para pamong pemangku kebijakan, melainkan harus menjadi kesadaran bersama. Kita tidak bisa memasrahkan keadaan ini hanya kepada satu atau dua pihak, tapi harus ada budaya sinergi dalam kebersamaan untuk menjaga amanah anfauhum linnas. 

Jangan sampai kebermanfaatan itu digunakan dengan syarat asalkan mendapatkan untung yang lebih banyak, pun dengan ongkos baik tenaga ataupun materi yang seminim-minimnya. Bukankan kita semua cerdas karena mau berbagi, bukan ngakali? 

Pahlawan itu bukan tokoh-tokoh nasional yang bercita-cita memajukan bangsa, melainkan mereka yang menyokong kehidupan berjuta-juta manusia dengan tenaga dan keringatnya. 

Pahlawan bukanlah mereka yang tanpa jasa pun ikut berupaya mencerdaskan kehidupan berbangsa, akan tetapi mereka yang tidak pernah memperdulikan hasil keringatnya namun terus berkontribusi bagi kebutuhan pangan dan keberlangsungan hidup umat manusia. Pahlawa itu mereka yang kebaikannya selalu diabaikan, dan keikhlasannya selalu dimanfaatkan.

Untung saja mereka tidak pernah mogok bekerja. Untung saja keluh kesah mereka selalu mampu teredam oleh hajat-hajat budaya yang masih terawat di pedesaan yang mampu menghibur diri. Terimakasih para pahlawan, Terimakasih atas jasa-jasa kalian, para bapak/ibu petani!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun