Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tidak Memiliki atau Memilih Peran?

26 Juli 2022   17:09 Diperbarui: 26 Juli 2022   17:25 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah kanal Symbolic_Id yang dibagi oleh Ceremai Antartika. Singkatnya, dia berpikiran kalau kita tidak memiliki peran dalam kehidupan ini. Kita ibarat wayang yang digerakkan oleh seorang dalang tunggal (read: Tuhan).

Terimakasih karena telah berbagi ide/pemikiran yang memantik. Disini saya tidak akan menyanggah, tapi hanya akan urun pendapat atau pemikiran. Menurut subjektif saya, harus ada pembagian wilayah jalan pikir antara diri sebagai ciptaanNya, diri sebagai hamba, pun diri sebagai khalifah, seperti yang tertulis di akhir "mahdhoh dan muamalah".

Sebagai ciptaanNya, kita telah terprogram sedemikian rupa, sehingga mau apapun yang kita lakukan, baik-buruk, benar-salah, kita bisa saja menggunakan informasi "sesungguhnya ketika kita melempar batu, bukan kamu yang melemparnya, melainkan ada kekuatan lain yang menggerakkannya." Ini baik dalam ruang mahdhoh, namun kurang tepat ketika diaktualisasikan dalam wilayah muamalah.

Sebagai hamba, ada klausul yang menegaskan bahwa hidup dan mati hanya untuk beribadah kepadaNya. Baik mahdhoh atau muamalah. Sebagai seorang hamba yang taat, ataupun seorang khalifah. Sekalipun itu perintah bahkan amanah, namun apakah Tuhan membutuhkan ibadah kita?

Ketika itu dicampur pasti akan menimbulkan bias, dan yang terjadi andai kita tidak waspada adalah kita tidak terbiasa untuk ber-mu'aqabah. Kita cenderung melakukan pembenaran, daripada mengakui kesalahan. Kita merasa telah mesra dengan Tuhan, dan merasa Tuhan ada berada di pihak jalan pikiran kita. Lhoh, Tuhan kok direkrut sehingga ada di pihak kita, bukankah terbalik?

Ketika kita merasa tidak memiliki peran, maka kemungkinan yang terjadi adalah kita kurang bisa melihat potensi peran-peran yang lain. Kita kurang bisa menerima perbedaan. Yang mana kesemua peran itu pasti menyiratkan suatu nilai dan niat kebaikan. 

Sekalipun ia seorang pencuri, pasti ada sebuah trigger yang mendorongnya untuk melakukan tindakan pencurian. Tidakkah itu karena rasa cintanya? Sehingga ia tidak tega kepada yang dikasihinya, baik itu orang lain maupun dirinya sendiri. Namun pada akhirnya orang-orang melakukan pengorbanan, meskipun tahu akan segala konsekuensinya.

Masing-masing dari kita memliki bekal potensi atau fadhilah. Tinggal sekarang bagaimana kita memaksimalkan bekal tersebut. Jika bekal tersebut untuk menapaki sebuah perjalan, kita juga mesti membuat mapping wilayah perjalanannya, lanskap geografisnya, dan dimana tujuannya.

Kita juga harus membuat timeline jarak dan skala rentang waktunya. Antara hidup-mati, siang-malam, tahunan, selapanan. Dan kita bisa melatih kebiasaan yang sekiranya pas untuk mengarungi perjalanan dengan bekal yang kita lalui. Kita memiliki agenda yang pasti, di antara banyaknya ketidakpastian.

Ketika sudah mengkonsep hal tersebut, hidup tidak lagi mengalir, tapi mengaliri hidup. Air tidak mungkin mengalir tanpa sebab, begitupun perjalanan kita. Maka beranilah mengaliri, sekalipun kita tahu akan ada banyak batu yang menghadang di sepanjang jalan. Namun ketahuilah bahwa karena itulah hidup menjadi indah.

Dalam percepatan waktu sekarang ini, kita dituntuk untuk lebih cepat memutuskan banyak pilihan dalam waktu yang semakin singkat. Kalau tidak sat-set, kita akan ketinggalan kereta zaman. Seklipun ada jadwal keberangkatan selanjutnya, jangan sampai keterlambatan kita mengganggu laju kebaikan yang sedang diupayakan bersama. Masa kita mesti minta dimaklumi dan digendong terus?

Beranilah memilih peran, bahkan menegaskan peran. Menurut Abraham Maslow, kita juga memiliki kebutuhan eksistensi dan aktualisasi. Setiap dari kita membutuhkan ruang pengakuan. Rapopo golek bathi, toh itu juga bukan menjadi hal yang tabu lagi. 

Tidak ada yang tidak menanggung konsekuensi, tidak apa-apa salah, sebab karena itulah pada akhirnya kita akan tumbuh. Dengan pengalaman-pengalaman yang kita dapati sepanjang perjalanan. Bukankah pengalaman itu adalah guru yang terbaik?

Namun subjek pendapat hanyalah sebuah kiasan, bukan kebenaran. Karena pendapat hanyalah hamparan alat pikiran untuk membantu manusia menapaki jalan menuju kebenaran. Kita bisa memilih, mengadopsi, bahkan memplagiasi alat-alat tersebut. 

Kita bisa beradaptasi untuk bisa memaksimalkan penggunaan alat bantu tersebut. Itu semua tidak lain merupakan jalan yang mesti kita upayakan untuk terus dibagi, tidak lain untuk kebaikan bersama. Bukan untuk menyeragamkan, tapi untuk lebih banyak memberikan opsi alat bantu. Tidakkah semakin banyak referensi akan membuatnya semakin bagus?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun