Sering sekali kegelisahan itu terjadi saat mereka sudah memiliki sifat "rumongso" atau merasa telah bisa melakukan sesuatu. Asyik dengan sesuatu yang dirasa membuatnya nyaman dan tenteram. Hingga lupa akan apa yang menjadi tujuan penciptaannya.Â
Sekalipun dirinya mengetahui bahwa segala sesuatunya dinamis, namun keasyikan itu bisa jadi merupakan suatu bentuk istidraj atau pembiaran. Walau sudah banyak melafadzkan la quwwata illa billah, tapi kenyataannya tetap saja innal insana lafii khusrin.Â
Atau kita sendiri tidak akan bisa terlepas oleh sindiranNya, bahwa kita mungkin saja bagian dari innahu kaana dholuman jahula (Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh).
Meski semua isyarat yang dapat kita dapati peringatan olehnya, yang menuntun akan suatu jalan yang benar daripada yang sesat. Akan tetapi, sekali-kali kita jangan memaksa kebenaran itu agar dipahami oleh yang lain.Â
Bagian-bagian ini hanyalah sebatas subjektivitas, yang kita harus merdeka dan berdaulat atas diri sendiri untuk memberi maupun menerimanya. Jangankan pemikiran, agama pun tidak pernah memaksa seseorang untuk lekas dipeluk (percayai). La ikraha fiddin.
Jadi, pernahkan keresahan itu justru timbul karena paksaan yang bersumber dari pikiran kita sendiri? Yang tidak kita ketahui kapan pergantian siang dan malamnya. Yang tidak kita ketahui diam pun bergerak atau beregaraknya pun sebenarnya diam. Hingga ketidakwaspadaan diri akan membuat kita lupa, untuk mengencangkan tali lebih kuat lagi, bukan malah mengendurkannya. Wallahu 'alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H