Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hilangnya Kesadaran kepada "Al-Hayyu"

21 Februari 2022   15:59 Diperbarui: 21 Februari 2022   16:01 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/chinh-le-duc

Semuanya itu berputar seperti bumi yang berotasi, hingga bergantian menawarkan siang dan malam yang banyak mengisyaratkan keindahan. Banyak hal berubah yang terjadi dalam setiap waktu, menimbulkan gejolak yang banyak memberikan rangsangan akan tumbuhnya suatu hal. Bahkan dalam diamnya, ia terus bergerak meskipun terkurung dalam kesunyian yang terkandung dalam diamnya.

Tidak mungkin semua yang bergerak dan memberi banyak pelajaran tersebut, bukanlah sesuatu yang hidup. Dan hidup itu tidak dibatasi hanya sebatas sesuatu yang bernyawa, melainkan yang tidak bernyawa juga. 

Sebab, adakah jaminan bahwa suatu hal yang nampak oleh pandangan akan abadi? Adakah yang tidak hidup itu tidak merasakan masti? Bahkan, kokohnya gunung akan hancur seketika tatkala ada yang berkehendak atas kehancurannya.

Hanya ada satu, yakni Al-Hayyu (Yang Maha Hidup) dan juga Al-Qayyum (Yang Maha Mengurus). Segala sesuatunya adalah milikNya, baik yang ada di langit dan bumi. Tapi, tidakkah dalam banyak waktu atau setidaknya sesekali kita berpikir "mengapa keadaan begitu membuatmu gelisah?" 

Padahal, tidak mungkin apapun yang menjadi milikNya, luput dari pandangan penglihatanNya dan tanggung jawab welas-asihNya. Hingga, Dia sibuk dalam setiap waktuNya.

Satuan waktu yang tidak mungkin kita mampu merasionalkan satuannya. Waktu yang tentu saja berbeda dengan hitungan makhluk ciptaanNya. Ya, kegelisahan atau keresahan itu sebenarnya banyak disebabkan karena ketidaktepatan meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, melihat sesuatu menggunakan telinga, dan sebaliknya, mendengar sesuatu justru dengan mata. Kita terjebak dalam permasalahan yang justru kita ciptakan sendiri, hingga banyak kita diberi peringatan, "tidakkah kalian berpikir?"

Meski hal itu mudah saja dibantah, apakah mungkin kemajuan zaman teknologi ini tercipta tanpa kami melakukan pemikiran dan perencanaan terlebih dahulu? Meski tidak bisa disamakan pula berpikirnya orang intelektual dan orang spiritual, atau orang bertipe kuat mentalnya. 

Tidak ada satupun penjelasan dan tentu saja tidak ada yang bisa memastikan siapa yang dimaksud dengan "kalian" dalam perintah untuk berpikir tersebut?

Masing-masing dari mereka akan menggunakan kekuatan akalnya secara naluri untuk mencari keamanan, kenyamanan, dan keselamatan. Dan pendidikan secara penuh mengakomodasi naluri tersebut dengan berbagai tawaran pengetahuan. 

Sedangkan pasar, akan menjadi bangunan ruang yang memfasilitasi segala bentuk wujud kenyamanan yang dibutuhkan. Hingga keselamatan, seolah akan secara otomatis dimonopoli oleh para tuan tanah generasi demi generasi.

Sering sekali kegelisahan itu terjadi saat mereka sudah memiliki sifat "rumongso" atau merasa telah bisa melakukan sesuatu. Asyik dengan sesuatu yang dirasa membuatnya nyaman dan tenteram. Hingga lupa akan apa yang menjadi tujuan penciptaannya. 

Sekalipun dirinya mengetahui bahwa segala sesuatunya dinamis, namun keasyikan itu bisa jadi merupakan suatu bentuk istidraj atau pembiaran. Walau sudah banyak melafadzkan la quwwata illa billah, tapi kenyataannya tetap saja innal insana lafii khusrin. 

Atau kita sendiri tidak akan bisa terlepas oleh sindiranNya, bahwa kita mungkin saja bagian dari innahu kaana dholuman jahula (Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh).

Meski semua isyarat yang dapat kita dapati peringatan olehnya, yang menuntun akan suatu jalan yang benar daripada yang sesat. Akan tetapi, sekali-kali kita jangan memaksa kebenaran itu agar dipahami oleh yang lain. 

Bagian-bagian ini hanyalah sebatas subjektivitas, yang kita harus merdeka dan berdaulat atas diri sendiri untuk memberi maupun menerimanya. Jangankan pemikiran, agama pun tidak pernah memaksa seseorang untuk lekas dipeluk (percayai). La ikraha fiddin.

Jadi, pernahkan keresahan itu justru timbul karena paksaan yang bersumber dari pikiran kita sendiri? Yang tidak kita ketahui kapan pergantian siang dan malamnya. Yang tidak kita ketahui diam pun bergerak atau beregaraknya pun sebenarnya diam. Hingga ketidakwaspadaan diri akan membuat kita lupa, untuk mengencangkan tali lebih kuat lagi, bukan malah mengendurkannya. Wallahu 'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun