Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ridla Merindu Datangnya Sapaan Fajar

27 Desember 2021   16:20 Diperbarui: 27 Desember 2021   16:28 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini (25/12) sinau bareng Gambang Syafaat diadakan di Aula Masjid Islamic Centre, Manyaran, Semarang. Suatu edisi yang spesial karena kesempatan kali ini merupakan momentum milad Gambang Syafaat yang ke-22. Meski di Bulan Desember identik dengan hujan yang setia membasahi, namun keadaan tersebut seolah menjadi berkah tersendiri karena tak membuat alasan alpa bagi dulur-dulur yang rindu suasana sinau bareng.

Lantunan merdu dari Whakijo dan Sedulur mengawali acara pada malam ini. Dilanjutkan dengan pembacaan munajat maiyah bersama me-refresh memori akan kehangatan suasana maiyahan pada umumnya. Jika berbicara Gambang Syafaat, kita banyak belajar tentang keistiqomahan tanpa central figure tertentu. "Ora bergantung sopo-sopo!" tegas Kang Hajir.

Pada Milad kali ini, Gambang Syafaat mengangkat tema "Seribu Pintu, Satu Rumahnya". Yang menandakan bahwa Gambang Syafaat sendiri bagaikan sebuah rumah dengan seribu pintu yang semuanya terbuka, dan dipersilahkan masuk melalui pintu apa saja sesuai dengan jenis minat dan kecenderungannya. Beberapa narasumber, seperti Pak Ilyas, Pak Saratri, Pak Budi, dan yang lainnya ikut menafsirkan bersama tema Gambang Syafaat kali ini.

Sungguh beruntung pada kesempatan ini, Mbah Nun berkesempatan hadir, dan keberadaan beliau menjadi kado bebungah tersendiri bagi dulur-dulur yang datang. Mbah Nun mengajak jamaah yang hadir untuk mentadabburi bersama surat Al-Qadr dan bersiap menyambut fajar. Sebab, hidup kita ini terlalu banyak dinaungi oleh malam atau "peteng" daripada mengalami ketercerahan.

Sebelum lanjut sinau bareng, peristiwa simbolik pemotongan tumpeng dilakukan bersama untuk menandai Gambang Syafaat yang telah menapaki usia ke-22-nya. Doa yang dipanjatkan pun doa-doa yang diambil dari firman Allah, yang menurut Mbah Nun lebih menyenangkan Allah Swt. Surat Al-Qadr pun dibaca 5x dengan seksama dipimpin oleh salah satu jamaah yang hadir malam itu. Dilanjutkan bersholawat bersama dipandu langsung oleh Mbah Nun.

Suasana saat itu seolah menampakkan magisnya, bagaimana tidak? Jika anomali keadaan yang tersaji, dengan berbagai basic identitas, dan segala perbedaannya. Yang tua, muda, ataupun anak-anak. Duduk bersama menggemakan aula Masjid dengan melantunkan cinta yang sama melalui Sholawat Badriyah. Tidakkah sapaan itu cukup untuk setidaknya mampu membuat Kanjeng Nabi tersanjung?

 ***

Mbah Nun kemudian mengingatkan janji Allah untuk tidak memberi adzab kepada orang yang banyak melakukan istighfar dan rajin bersholawat. Karena itu, beliau pada malam itu juga memberi kebiasaan yang sering beliau lakukan, utamanya sebelum tidur, yakni istighfar 9x, sholawat 9x, hasbunallah 9x, dan dulur-dulur diajak untuk berikutnya juga menambahkan bacaan surat Al-Qadr 10x.

Malam itu, Mbah Nun mengenalkan satu pintu, pintu hajat. Setidaknya setelah mengalami banyak "peteng", timbul rasa rindu akan fajar yang akan menyambut. Surah Al-Qadr menjadi pemantik atau pintu untuk mempelajari surat Al-Fajr. Khusunya oleh Mbah Nun diajak untuk fokus kepada tiga ayat terakhir yang Surat Al-Fajr.

"Yaa ayatuhannafsul muthmainnah", ditadabburi bersama bahwa Gusti Allah ndawuh kepada jiwa yang tenang. "Kita termasuk apa tidak?" tanya Mbah Nun. Sebab jiwa-jiwa yang tenang itu biasanya ditujukan kepada orang yang sudah meninggal. Setelah objek, Mbah Nun bertanya tentang waktu, "kapan cocoke didhawuhke Allah nggo awakmu? Apakah bisa berlaku kapan saja dan siapa saja?"

Kemudia Mbah Nun menegaskan bahwa perjuangan utama kita sebisa mungkin adalah mendapati jiwa yang tenang. Meskipun panggilan "Yaa ayatuha" itu mengarah kepada sifat yang feminim, namun ayat ini berlaku kepada siapa saja. Hanya saja jiwa-jiwa yang kita miliki mempunyai kecenderungan sifat-sifat yang feminim.

Berikutnya, untuk mendapati jiwa yang tenang, Mbah Nun kembali mengingatkan ayat yang sudah sering dipelajari bersama dalam sinau bareng, yakni yang terkandung di ayat berikutnya "radliyyatan mardliyah." Pertanyaan pun dilemparkan oleh Mbah Nun kepada salah satu jamaah, "sing penting awakmu ridho marang Gusti Allah, opo Gusti Allah ridho marang awakmu?"

"Allah ridho kepada saya." jawabnya. Mbah Nun kemudian banyak mempertunjukkan perumpamaan-perumpamaan yang sebenarnya banyak kita sebagai manusia sering tidak menyadari bahwa kebiasaan kita tidak ridla terhadap segala ketentuan Allah. Padahal bunyi ayat sangatlah jelas, radliyyatan mardliyah, bukan mardliyyatan radliyyah. Yang menandakan bahwa yang pertama adalah kita mesti ridla terlebih dahulu atas segala ketentuan Allah Swt.

"Kita mesti bisa membedakan antara ridla dan ikhlas." kata Mbah Nun. Kurikulum utama belajar kita semestinya adalah belajar untuk terus ridla kepada Allah. Sedangkan ikhlas sendiri adalah keadaan yang menyadari apapun dalam spektrum ahad-Nya. Dengan begitu, harapannya kita mampu menjadikan bekal ini sebagai setup kehidupan kita.

Menjawab salah satu pertanyaan yang datang dari jamaah, Mbah Nun kembali menegaskan bahwa tidak ada yang tidak pintu. Semua itu pintu, berkah Allah semua. Hanya saja yang harus kita jadikan fokus perhatian  bukanlah pada objek, melainkan atas proses kita sendiri.

***

Manyaran, 25 Desember 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun