Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Terus "Nandur" Tanpa Pamrih Apapun

17 Desember 2021   16:29 Diperbarui: 17 Desember 2021   16:31 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pementasan Seni Tari (dokpri)

Sehari sebelum acara Mocopat Syafaat malam ini, pada sore harinya ada kabar penawaran untuk mengikuti acara #MSDes di Kadipiro kepada dulur Maneges Qudroh, tetapi kuotanya terbatas hanya sekitar 30-50 orang. 

Kalau umumnya masyarakat pasti akan berebut tempat untuk bertemu seorang idolanya, namun di lingkungan maiyah berbeda, yang terjadi justru saling mempersilahkan.

Meskipun di hati banyak tertahan rasa rindu, nampak di daftar yang telah dibagikan muncul banyak keikhlasan untuk merelakan kesempatan emas bertemu dengan Mbah Nun. 

Nyatanya kuota masih menyisakan banyak tempat hingga sore hari, beberapa waktu sebelum jadwal berkumpul. Entah karena memang "malu-malu kucing" atau sudah terlatih untuk memiliki mental supersub (pemain pengganti yang selalu siap mengubah alur permainan).

Bagaimana mungkin rombongan ini pada akhirnya begitu terlihat bahagia dengan menyewa bus engkel menuju Kadipiro? Secara mendadak dan tanpa direncanakan. 

Keadaan ini mungkin berhubungan dengan pertanyaan Mbah Nun di awal acara terkait pertalian apa yang terjalin dalam sebuah komunitas? Misalnya saja kalau dalam parpol ingin berkuasa dan perusahaan menginginkan laba, maka menurut Mbah Nun kita di dalam maiyah juga harus mengetahui yang lebih utama.

Demikian halnya dalam hidup, apa yang selama ini kita alami lebih banyak siangnya atau malamnya? Mbah Nun kemudian menggambarkan bagaimana perjalanan Kiai Kanjeng selama 30 tahun yang petheng ndedet dan ora tau cetho. Bahkan, hidup kita ini sendiri menurut beliau lebih banyak mengalami fase gelapnya daripada terangnya. 

Maka dari itu, Mbah Nun menganjurkan untuk membaca 10x surat Al-Qadr sebelum tidur atau 3x setelah selesai sholat, supaya hidup kita salamun hiya mathla'il-fajr. Suatu jaminan keselamatan yang menurut Mbah Nun tidak hanya berbatas sekitar pukul 04.00 waktu fajar, tapi bisa "nanti" yang kita semua tidak bisa memastikannya.

Keberkahan yang Berasal dari Kemurahan Hati Manusia

Pementasan seni tari dari Pak Jujuk dan komunitasnya, lalu dilanjutkan dengan monolog "Kucing Mengajari Kucing Terbang" oleh Bapak Eko WInardi menjadi bonus hiburan pada malam itu. Lalu setelah selesai, kita bersama diajak oleh Mbah Nun untuk memasuki tema Mocopat Syafaat kali ini, yakni "Give Your Hand, Take My Hand".

Mulanya, Mbah Nun mengajak kita untuk menyatukan persepsi, bahwa apa yang telah dilakukan oleh Pak Jujuk dan Pak Eko itu tergolong dalam bagian give your hand atau take my hand. 

Mana yang sifatnya memberi atau menerima? Apa yang membuat kita bertambah ilmu, bertemu dengan yang belum diketahui atau yang sudah diketahui?

Jadi apa yang dilakukan oleh Pak Jujuk dan Pak Eko dalam pementasan seni tadi termasuk dalam bagian take my hand, sebab posisi Pak Jujuk dan Pak Eko sedang bersedekah kepada kita memberikan sesuatu yang sedikit banyak belum kita ketahui.

Tapi, bukan berarti dengan meraih tangan itu lantas kita pasrah atau berdiam diri. Mbah Nun juga mengajak kita untuk memiliki kemerdekaan dalam menafsirkan. Jadi terjalin suatu hubungan timbal balik dan memungkinkan kita yang menonton pementasan tersebut juga dalam keadaan memberi. 

Mbah Nun juga memberikan contoh dengan menyodorkan suatu pertanyaan, Nabi Adam as. dalam segala sesuatunya yang ditemui selama perjalanan, banyak yang mengidentifikasi sendiri nama-nama/simbol-simbol atau diberi tahu oleh Allah?

Dalam hidup kita akan banyak mengalami kematian, maka dari itu Mbah Nun menasihatkan kita untuk siap mati, untuk kelahiran baru. Misalnya saja dalam hal ekonomi, kebanyakan dari manusia tidak rela untuk mengeluarkan uangnya begitu saja, tanpa mendapat apapun. Padahal itu bisa saja kita mengalami kematian (kehilangan uang) untuk menemui atau diganti dengan sesuatu (kelahiran) yang baru.

Kita lantas diingatkan oleh Mbah Nun untuk mengidentifikasi sifat-sifat yang yang menghancurkan manusia, seperti pelit, rakus/serakah, dan juga malas. 

Apalagi Allah menurut Mbah Nun juga telah sangat jelas memberi peringatan, "lahum qulubun la yafqahuna bihaa (mereka mempunyai hati, tapi tidak digunakan untuk berpikir)".

"Soyo kowe akeh ngekei, soyo akeh rejekimu (semakin kamu banyak memberi, semakin banyak rejekimu)." tegas Mbah Nun. "Sebab kekayaan dan keberkahan itu berasal dari kemurahan hatimu." lanjut beliau. Jangan sampai kita menjadi seperti supir yang tidak mau ada kondekturnya, apa-apa maunya dimiliki oleh dan hanya dirinya sendiri.

Kalau pada saatnya kita menyadari peran dan juga maqom kita, maka pada wilayah itulah Mbah Nun mengajak jamaah semua harus berani nggetih. Namun, juga tidak kehilangan sikap kewaspadaan terhadap apapun saja sifat yang berpotensi membuat diri hancur. "Soyo kowe loman, awakmu juga soyo dilomani Gusti Allah (semakin kamu bermurah hati, maka dirimu juga semakin mendapat kemurahan dari Allah)."

"Saya Tidak Akan Menyerah, Sebab Saya Pasrah"

Satu nomor lagu "Berlaksa-laksa Cahaya" dari Kiai Kanjeng menyegarkan suasana ditengah-tengah suasana sinau bareng malam itu. Sebab berbeda dengan sinau bareng pada umumnya, jumlah yang terbatas menciptakan keadaan secara tidak langsung untuk saling mengawasi sehingga selama acara hampir tidak ada yang berani gojekan/bercanda sendiri dan membuat banyak waktu digunakan untuk fokus mendengarkan apa saja yang disampaikan oleh Mbah Nun.

Mas Helmi yang mendampingi Mbah Nun selama acara juga menyampaikan tentang hisab atau perhitungan, yang juga telah dijelaskan lebih lengkapnya oleh beliau dalam tulisan di rubrik khasanah Kata "Perumpamaan" dalam Surat Al-Baqarah 261.

Mbah Nun kemudian memberikan lagi sebuah ayat ke-21 dalam surat Yasin, "ittabi'u mal la yas'alukum ajraw wa hum muhtadun (ikutilah orang-orang yang tidak meminta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang yang mendapat petunjuk)." Sebuah ayat yang cerita Mbah Nun menjadi salah satu kaligrafi yang terpampang di dinding rumah Menturo.

Kita dituntut untuk tidak pamrih atas apapun yang kita lakukan. Mbah Nun kemudian menceritakan bahwa ada salah seorang kemarin yang datang ke Kadipiro menyampaikan, "saya tidak akan menyerah, Cak! Karena saya pasrah kepada Gusti Allah." Lantas, Mbah Nun mengajukan simulasi-simulasi pertanyaan kepada dulur-dulur maiyah yang hadir, bagaimana sikap kita? Kalau tidak viral, bagaimana? Kalau tidak panen, bagaimana? Akankah kita marah?

"Aku nandur terus meskipun ra panen! Ra panen ra masalah!" tegas Mbah Nun. Kita mesti tidak berhenti untuk terus nandur. "Nandur wae dengan keikhlasan nandur", sambung beliau. Kenikmatan itu nantinya akan lebih tinggai daripada iming-iming akan pahala. Dan, "rasah mengharap apa-apa dari manusia. In lam yakun biKa 'alayya ghadlabun fala ubali." pungkas Mbah Nun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun