Satu nomor lagu "Berlaksa-laksa Cahaya" dari Kiai Kanjeng menyegarkan suasana ditengah-tengah suasana sinau bareng malam itu. Sebab berbeda dengan sinau bareng pada umumnya, jumlah yang terbatas menciptakan keadaan secara tidak langsung untuk saling mengawasi sehingga selama acara hampir tidak ada yang berani gojekan/bercanda sendiri dan membuat banyak waktu digunakan untuk fokus mendengarkan apa saja yang disampaikan oleh Mbah Nun.
Mas Helmi yang mendampingi Mbah Nun selama acara juga menyampaikan tentang hisab atau perhitungan, yang juga telah dijelaskan lebih lengkapnya oleh beliau dalam tulisan di rubrik khasanah Kata "Perumpamaan" dalam Surat Al-Baqarah 261.
Mbah Nun kemudian memberikan lagi sebuah ayat ke-21 dalam surat Yasin, "ittabi'u mal la yas'alukum ajraw wa hum muhtadun (ikutilah orang-orang yang tidak meminta balasan kepadamu, dan mereka adalah orang yang mendapat petunjuk)." Sebuah ayat yang cerita Mbah Nun menjadi salah satu kaligrafi yang terpampang di dinding rumah Menturo.
Kita dituntut untuk tidak pamrih atas apapun yang kita lakukan. Mbah Nun kemudian menceritakan bahwa ada salah seorang kemarin yang datang ke Kadipiro menyampaikan, "saya tidak akan menyerah, Cak! Karena saya pasrah kepada Gusti Allah." Lantas, Mbah Nun mengajukan simulasi-simulasi pertanyaan kepada dulur-dulur maiyah yang hadir, bagaimana sikap kita? Kalau tidak viral, bagaimana? Kalau tidak panen, bagaimana? Akankah kita marah?
"Aku nandur terus meskipun ra panen! Ra panen ra masalah!" tegas Mbah Nun. Kita mesti tidak berhenti untuk terus nandur. "Nandur wae dengan keikhlasan nandur", sambung beliau. Kenikmatan itu nantinya akan lebih tinggai daripada iming-iming akan pahala. Dan, "rasah mengharap apa-apa dari manusia. In lam yakun biKa 'alayya ghadlabun fala ubali." pungkas Mbah Nun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H