"Eh, katanya belajar itu menderita lho. Kita mesti berjuang untuk mencoba sesuatu berulang kali sampai berhasil, atau harus menghafal banyak kata-kata hingga benar-benar terpatri dalam ingatan yang rapuh ini." kata Bewol.
"Makanya, suasana belajar itu semestinya dibuat menyenangkan."
"Lhoh, kamu ini gimana to, Gus? Kamu ingin bercanda apa ingin belajar? Tujuanmu itu hanya sekedar bermain atau ingin mengetahui sesuatu dan belajar?"
"Kan, bisa to Wol, bercanda sambil belajar. Atau belajar sambil bercanda."
"Wah, kamu ini udah tua gini kok ya cara belajarnya masih sama dengan anak-anak."
"Maksudmu gimana to? Memangnya kamu tau cara Tuhan mendistribusikan ilmu? Atau jangan-jangan kamu sudah jadi sales-Nya Tuhan di bidang ilmu dan pengetahuan."
"Ya gak gitu juga, jangankan jadi sales, jadi hamba-Nya saja masih jauh dari kata'pantas'. Lagian kamu juga Gus, ngasih perumpamaan kok ya sales. Kalau sales itu kan pasti mencari laba materiil, sedangkan Tuhan ngasihnya cuma-cuma kalau hanya sekedar ilmu dan pengetahuan."
"Justru kamu yang mungkin masih terlalu idealis dan subjektif, terserah-serah Tuhan dong mau membagikan sedikit ilmu-Nya seperti apa."
"Lhoh, Gus! Subjektf dan idealis itu mesti dimiliki seseorang, karena dengan itu kita mengetahui sesuatu yang namanya prinsip. Dengan memegang sebuah prinsip, maka sesorang mampu melakukan sesuatu yang dilakukannya secara continue atau berkelanjutan."
"Wah sudah pakai Bahasa Inggris sekarang, sudah seperti intelek beneran kamu, Wol!"
"Memang apa salahnya menggunakan bahasa-bahasa asing? Terus kalau saya memakai kata serapan, apa lantas saya dianggap tidak suka menyukai bahasa lokal? Â Tidak nguri-nguri kabudayan, begitu maksdumu? Terus, kalau saya banyak menggunakan bahasa asing, apa lantas identitas saya seketika juga berubah menjadi orang asing?"
Gus Welly pada akhirnya memilih untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Bewol. Dia merasa diam lebih baik daripada terus melayani Bewol yang nampak baginya tidak mau mengalah. Meskipun terlihat kalah, bagi seorang alim seperti Gus Welly itu tetap akan dianggap sebagai sebuah kebaikan. Walaupun sebaliknya, kalau Bewol yang di lain kesempatan memilih untuk mengalah, hal itu akan dinilai banyak orang karena dia memang salah.
Tapi, untung saja pada kesempatan ini mereka mengobrol hanya berdua saja. Sehingga Gus Welly pun masih penasaran dengan pernyataan awal Bewol yang justru malah melebar kemana-mana.
"Terus, bagaimana belajar yang baik itu menurtmu, Wol? Seingatku dulu, kamu juga pernah berkata kalau belajar itu harus dengan suasana menyenangkan agar ilmu itu mudah diserap. Akan tetapi, sekarang kok justru kamu sendiri yang menyangkalnya?" Gus Welly penasaran.
"Kebenaran di masa lampau itu kan bisa jadi kesalahan seiring berjalannya waktu. Kamu juga pasti sudah tau kan Gus, beda audience, beda semboyan. Sekalipun terlihat tak berpendirian, tapi kamu sendiri yang tadi berkata kalau aku subjektif dan idealis. Sekarang gini Gus, belajar itu kan juga ada patrapnya, ada tingkatannya, berlapis-lapis. Kalau belajar yang menyenangkan itu, kita tidak membutuhkan Guru, cukup dengan banyak melihat artis atau tokoh yang kita sukai itu pasti akan menyenangkan. Dan apapun yang mereka katakan memang akan dengan mudah kita ingat." Jelas Bewol.
"Sekarang coba kita buat perbandingan dengan skala waktu, apakah si Rahmat yang sudah berkeluarga itu akan banyak menghabiskan waktu hanya dengan sesuatu yang menyenangkan dirinya, sedangkan ada tanggung jawab yang lebih utama bagi dirinya. Benar, bahwa dia ketika berkumpul juga dengan tujuan belajar, akan tetapi yang dia butuhkan kan tetap sesuatu yang menyenangkan, menggembirakan. Setelah banyak melepas penat mencari penghidupan, padahal bukankah tidakkah ada waktu yang mana  seharusnya kita mesti terus belajar?" lanjut Bewol.
"Paham-paham, tidak mungkin juga kita banyak menghabiskan waktu dengan banyak mengeluarkan energi, bukan?"
"Makanya itu, kita sering mendapatkan peringatan 'tidakkah kita berpikir?' dari Tuhan berulang kali. Apa kita anggap Tuhan menyindir kita seperti itu sembari cengar-cengir? Dan kita masih malas saja untuk selalu diajak berpikir. Mencoba untuk menangkap pesan dan isyarat dari segala tindak laku yang kita alami. Maunya seneng-seneng terus? Lagi-lagi itu hanya masalah porsi, bukan keseimbangan. Sebab ukuran keseimbangan itu absurd, bahkan bias jika mesti disamakan."
"Tapi, sebaik apapun, sekeras apapun kita berusaha, itu juga karena Tuhan, bukan?"
"Yang paling penting adalah kesadaran diri akan kemandirian, bahwa diri ini masih perlu banyak belajar dan terus belajar. Dan dari banyak waktu yang tersedia, mayoritas akan lebih condong ke perjuangan yang tentu saja itu membuat diri akan tidak nyaman. Sebab atas ketidaknyamanan itulah pada akhirnya kita  mampu membuat nyaman banyak orang." pungkas Bewol.
"Tapi itu bukan berarti kita meninggalkan kebahagiaan kan?" tanya Gus Welly.
"Jelas tidak, itu sudah otomatis menjadi naluri kita. Tanpa kita banyak anjurkan, orang-orang akan dengan sendirinya mencari. Hanya saja, sesuatu yang berkebalikan harus kita persiapkan mentalitasnya, Kita harus banyak menyiapkan pendekar, tidak hanya seorang badut penghibur atau pelipur lara. Supaya, dirinya tidak mudah roboh saat banyak badai kehidupan melanda kelak di kemudian hari yang ghaib."
"Tapi Badut itu juga bisa jadi adalah seorang pendekar yang sedang menyamar lho." canda Gus Welly sembari pergi meninggalkan Bewol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H