Tapi, siapa bilang percaya kepada yang belum pasti itu mudah? Melihat sesuatu yang samar, mendengar banyak kata-kata yang tidak jelas, hingga merasakan sesuatu yang absurd atau unreal.
 Lantas, kita terjebak dan tidak bisa melepaskan diri pada jeratan tersebut.Â
Apakah yang kiranya akan kita lakukan? Memilih realistis dan meninggalkan keabsurdan. Atau sebaliknya?
Jangankan memastikan, untuk sampai ke takaran "memahami sesuatu" pun sudah pasti dibentur-benturkan terlebih dahulu dengan masalah. Oke, mungkin saja dengan masalah selalu terkandung hikmah di dalamnya.Â
Atau dengan adanya masalah, keadaan tersebut bisa menjadi suatu indikasi kita bahwa masih ada kesempatan untuk tumbuh. Tapi, adakah yang menginginkan masalah?
Seandainya saja, waktu berhenti berputar. Seandainya saja, segala batas aturan tidak diberlakukan. Seandainya saja, mewujudkan keinginan seperti membalikkan telapak tangan.Â
Dan seandainya saja, rasa aman dan kesejahteraan dapat dipastikan sejak dini. Lantas, apa yang menarik lagi dalam kehidupan yang katanya hanya sebatas "mampir ngombe kopi" ini?
Engkau selalu saja menyelinap di balik segala keluh aktivitas yang menyibukkan. Memberikan kenikmatan sejenak mengahapus letih yang salalu mengajak diri untuk merintih.Â
Namun apa daya jika itu semua hanya ketidakpastian.Â
Sekalipun kita mencari sepanjang waktu, dengan batas aturan yang terjaga ketat, serta harap-harap yang selalu terjawab dengan ketenangan.Â
Tapi, bagaimana jika semua itu nyatanya tetap saja tidak bisa pastikan untuk menggemgamnya?
Jangankan menggenggam, sekedar menatap atau menyapa barangkali satu patah kata pun seolah-olah seketika tersungkur kaku. "Bagaimana mungkin?". "Apakah pantas?". "Akankah bersedia?".Â
Dan beribu pertanyaan lain selalu hinggap menjadi bumerang yang siap mencederai diri. Menuju kelalaian atau lupa akan segala rasa yang tidak pernah jelas dan tidak bisa terpahami.
Lalu, masih adakah celak kemudahan? Jika semua yang mudah tidak bisa ditemui maknanya tanpa pernah bertemu dengan kesulitan, perjuangan, ataupun pengorbanan.Â
Sekalipun kita banyak membawa bekal ilmu ataupun pengetahuan, sudah pastikah kita akan mendapat kemudahan? Atau jangan-jangan kemudahan itu hanya alibi dari diri kita untuk menghindar dari tanggung jawab yang lebih besar, bukankah itu kemungkinan?
Andai saja Tuhan dapat dipastikan keberadaan-Nya, dapat ditentukan jadwal dan agenda-Nya, dapat ditebak ketentuan-ketentuan-Nya, masih mungkinkah aku memiliki iman? Masih mungkinkah aku belajar arti tentang ketulusan dan kesejatian cinta melalui Rahman-Rahim-Nya?Â
Bagaimana mungkin Dia masih menghendaki kita untuk kembali, sekalipun berjuta kali kita menolak cinta-Nya selama kehidupan ini kita alami?
Andai saja ada sesuatu yang tidak pasti, aku selalu anggap bahwa hal tersebut menjadi salah satu bagian manifestasi cara-Nya memperkenalkan diri kepada hamba-hambaNya.Â
Dan terserah-serah Dia pula mau berkenalan di ruang dan waktu sebelah mana, kita jangan sok-sokan menentukan jalan-jalan yang kiranya dianggap benar. Setidaknya, dengan itu kita akan mendapat keluasan dan keterbukaan. Begitulah, ketidakpastian itu mengajarkanku dan mengenalkanmu.
Dari satu rasa mampu diproyeksikan berjuta rasa.Â
Terkadang senang, kadang pula benci. Terkadang penuh semangat, kadang pula dikekang keputus-asaan. Kalau Simbah ngendika, "memang kita tidak boleh benci?Â
Tidak boleh putus asa? Dengan kehidupan yang seperti ini?" Sudah sewajarnya manusia memiliki kedinamisan sifat-sifat seperti itu.Â
Kita bukan Kanjeng Nabi yang dioperasi khusus oleh Malaikat Jibril hati dan jiwanya.
Yang terpenting, jangan jadikan kebencian itumembuat kita bersikap tidak adil terhadap apapun dan siapapun. Dan jangan jadikan keputus-asaan itu menjadikan diri akan masih ada pertolonganNya yang begitu nyata.Â
Kurang lebih begitu nasihat Simbah akhir-akhir ini. Meski mempercayai ketidakpastian itu tidaklah mudah, masih sediakah engkau selalu memberi snyuman manis itu?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI