Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Meneguhkan Cinta Supaya Tidak Mudah Terombang-ambing oleh Keadaan

19 Juni 2021   08:17 Diperbarui: 19 Juni 2021   08:24 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto oleh @pieu_kamprettu

Dalam minggu pertama di bulan Juni ini, rangkaian kegiatan Maneges Qudroh bisa dibilang padat. Setelah di hari Selasa ada Selasan dan hari Jum'at ada acara yang sama di Ngablak, Sabtu malam ini (5/6), merupakan jadwal agenda rutin bulanan yang biasa diadakan sebulan sekali. Sekalipun bukan kewajiban, namun terlihat cinta dan ketulusan dari dulur-dulur pada malam ini yang mendatangkan kekuatan lebih sehingga tidak ada tanda-tanda merasa lelah sedikitpun.

Acara dibuka dengan membacakan Doa Yasin dan Tahlil bersama khususon untuk Alm. KH. Ahmad Muzzammil dan Mas Pujianto yang dipimpin oleh Mas Dhian. Fenomena ini mengingatkan bahwa di lingkungan Maiyah mampu menarik para remaja untuk melakukan Yasin dan Tahlil yang biasanya mayoritas dilakukan oleh bapak-bapak sesepuh di lingkungan masyarakat sekitar. Dan pemuda/i ini belum pasti biasa atau bahkan tidak pernah melakukannya apabila di lingkungan rumah.

Setelah doa bersama, agenda dilanjutkan dengan melakukan wirid dan sholawat secara ringkas sebagai bentuk sapaan dan permohonan kita bersama kepada Allah Swt dan Kekasih-Nya, semoga malam ini kita yang berkumpul bersama dalam acara rutinan Maneges Qudroh ke-124 ini dibukakan pintu-pintu keilmuan yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri ataupun jika memungkinkan bisa ditransformasikan ke lingkutan sekitar kita.

Rutinan yang terlaksana di Jumbleng, Muntilan kali ini mengangkat tema "Ambang Ombang Ambing", yang scara singkat dijelaskan oleh Pak Dadik sebagai pembuat mukadimah tema acara malam ini. Sebagai pintu pembelajaran malam hari ini, Pak Dadik mengajak kita untuk mencari sosok penerang yang merdeka dari segala keterbatasan, baik ruang, waktu, maupun profil diri. Supaya kita tidak mudah terombang-ambing dan menjaga ketegapan langkah kaki kita di zaman yang tidak menentu.

Ridho Terhadap Ketentuan Allah Swt.

Suasana pada malam hari ini sekejap menjadi lebih intim setelah doa dan sholawat yang terlantun di awal acara. Baik karena sebuah kemesraan ataupun sebuah kerinduan akan lingkaran-lingkaran maiyah kecil seperti ini, ataupu oleh faktor-faktor yang lain. Yang pasti, kegiatan sinau bareng pada malam hari ini terasa spesial atas kehadiran Pak Amron,  Gus Asbid dan Mas Iwa yang rela membersamai acara sinau bareng ini. Selain itu, ada Pak Ida dan Daya, putranya, yang akan menjadi pengusir kebosanan. Begitupun atas partisipasi dulur-dulur yang datang untuk berkumpul bersama dalam rutinan Maneges Qudroh edisi Juni.

Pak Adi sebagai moderator langsung meminta Pak Amron untuk merespon mukadimah yang telah disampaikan oleh Pak Dadik. Salah satu bagian yang disampaikan oleh Pak Amron adalah bagaimanapun segala sesuatu yang dialami pasti ada dua sisi, baik yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan. Kalau mendapati nikmat yang menyenangkan, sudah menjadi suatu anjuran apabila kita harus bersyukur. Namun apabila yang didapati perasaan kecewa,sedih, maka anjurannya adalah sabar. "Dan sabar ini nilainya luar biasa. Innallaha ma'ash-shobirin." ujar Pak Amron.

Kita secara tidak langsung juga harus online dengan Allah Swt. Maksudnya, jangan sampai not connected jaringan komunikasi kita dengan Allah, dengan terus-menerus memegang kesadaran akan Allah Yang Meliputi Segalanya. Hal itu melatih daya virtual kita, karena secara stimulan melatih diri untuk mengetahui sesuatu yang ghaib namun bisa kita nyatakan.

"Kalau kta bisa mengaplikasikan (daya virtual), maka kita wali." canda Pak Amron disambut tawa para dulur-dulur yang memperhatikan. Pak Amron meneruskan bahwa dengan keadaan virtual seperti itu kita tidak lagi susah, "ya nek susah ra susah banget, nek seneng ya ra seneng banget." ujar beliau. Dalam keadaan seperti ini, kita akan lebih bisa menyadari segala ambang batas diri kita masing-masing.

Lalu Pak Amron menyampaikan bahwa yang menyebabkan kita terombang-ambing adalah adanya keinginan. Keinginan jika terpenuhi atau terwujud akan menjadi sebuah nikmat. Tapi, bagaimana apabila keinginan itu tidak mewujud? Apakah kita lantas melaknat? Terlebih sebagai manusia, tidak mungkin kita tidak memiliki keinginan. Dalam banyak keadaan sebuah ingin yang tak lantas terwujud itu, Pak Amron mengatakan bahwa disitulah ada tuntunan untuk ridho, bahwa segala keadaan yang terjadi merupakan bagian dari ketentuan Allah Swt.

Setiap gejala alam, termasuk gerhana bulan yang belum lama ini terjadi, hendaknya menjadikan diri untuk lebih mengingat Allah. Apabila kita tidak ridho dan tidak ingin terikat dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt. Kita secara tidak langsung tidak menerima Tuhan kita sendiri. Oleh sebab itu, Pak Amron menambahkan sebuah hadits Qudsi, "Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku serta tidak rela terhadap keputusan-Ku, maka hendaklah ia keluar dari kolong langit dan cari Tuhan selain Aku."

Mendewasakan Hati

Beberapa lembar tikar mesti ditambah seiring dengan semakin bertambahnya dulur-dulur yang ingin merapat untuk duduk bersama. Cuaca yang tergolong dingin pada malam itu pun tak terasa oleh karena kehangatan yang tercipta di Omah Maneges.

Moderator kemudian menggulirkan kepada Gus Asbid untuk turut memberikan respon terkait tema rutinan malam ini. Sedikit bercerita, Gus Asbis dengan sikap penuh rendah hati sebenarnya tidak nyaman ketika mendapat julukan "Gus". Dia lebih nyaman jika dulur-dulur MQ menganggapnya sebagai seorang santri biasa dari Tegal yang sedang menuntut ilmu ke Watucongol, Gunung Pring. Dengan pembawaannya yang jenaka dan tergolong masih muda, Gus Asbid bisa seolah bisa menyihir dulur-dulur yang lain untuk memperhatikannya.

Gus Asbid menyampaikan bahwa keadaan terombang-ambing ini merupakan salah satu sifat kepribadian kita pada umumnya. Tidak mungkin seseorang tidak mengalami keadaan seperti ini, karena ombang-ambing sendiri merupakan salah satu keadaan yang pada akhirnya mendewasakan hati. Ciri-ciri seorang hamba yang masih mudah terombang-ambing menurut Gus Asbid biasanya sing alman, ngedropan, dan juga ketika diputus lorone tahunan.

Kemudian berceritalah Gus Asbid tentang romansa Mahabbah yang pada umumnya sering dialami oleh para pemuda/i. Dengan mengambil surat Asy-Syams, Gus Asbid mengibaratkan cinta itu berada di kisaran "ketika datangnya malam dan ketika datangnya siang." Cinta itu ada yang gelap dan ada yang padhang.

Mengambil dari Kitab Ihya' Ulumuddin, Gus Asbid menjabarkan bahwasanya rasa tresno itu dari ke ruh ke ruh. Bukan secara jasad yang umumnya dipahami masyarakat sekarang ini. Dari hal tersebut, maka sifat manusia terbagi menjadi dua, yakni kemalaikat-malaikatan dan kesetan-setanan. Ibarat air, ya bening ro buthek. Dan dari keadaan tersebut pula maka manusia dibagi ke dalam beberapa keadaan, yakni sebagai hamba, muhtaram, dzawil, nabi, rasul.

Pengetahuan itu akhirnya menuntun kita untuk terus menuntut ilmu, dan pencarian itu akan mengarahkan diri menuju orang pilihan yang secara nurani memiliki ilmu. Dan itu merupakan sirkulasi putaran yang akan meningkatkan ekspertasi diri secara tidak langsung. Karena semakin kita memperbanyak ilmu, tentu tanggung jawab yang diamanatkan juga semakin besar.

Menurut Gus Asbid, kita bisa memakai istilah Jawa, "wong sing seneng panggahono, wong sing sengit panggehono." Pelajaran terkait cinta dari Gus Asbid mengajak dulur-dulur yang hadir agar atine ora patio alman. Apabila datang hinaan dari orang lain, itu gak akan bisa menurunkan derajat kita menurut Gus Asbid, terlebih seiring dengan semakin banyak diri dalam mencari ilmu.

"Aku jadikan pada tubuh anak Adam (manusia) itu qasrun (istana), di situ ada sadrun (dada), di dalam dada itu ada qalbu (tempat bolak balik ingatan), di dalamnya ada lagi fu'ad (jujur ingatannya), di dalamnya pula ada syagaf (kerinduan), di dalamnya lagi ada lubbun (merasa terlalu rindu), dan di dalam lubbun ada sirrun (mesra), sedangkan di dalam sirrun ada 'Aku'." Dari hadits Qudsi tersebut, Gus Asbid mengibaratkan keadaan ombang-ambing ini seperti di bagian qalbun (tempat boal-balik ingatan). Setidaknya ketika sudah berhasil masuk lebih dalam, kita akan berada di wilayah fuadun (jujur ingatannya), Gus Asbid menerangkan bahwa orang fuadun itu cirinya wes bakoh kukuh.

Di akhir kucuran ilmunya yang sangat banyak membuka cakrawala, Gus Asbid yang baru pertama kali membersamai rutinan Maneges Qudroh sedikit mbombong dulur-dulur yang hadir dan mencoba nggedekke ati atas usahanya untuk mencari ilmu hingga larut malam dengan menyampaikan sebuah hadits , "Selama bau biji Kopi ini masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula Malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untukmu."

foto oleh @pieu_kamprettu
foto oleh @pieu_kamprettu
Semua Teratur dan Berpola

Terakhir adalah giliran Mas Iwa atau juga sering dipanggil Gus Iwa, karena beliau juga memiliki sebuah pondok di daerah asalnya Jampang, Sukabumi, Jawa Barat. Mas Iwa ini seringkali silaturrahmi ke Magelang. Sampai-sampai, Mas Iwa menyatakan bahwa sebagian sejati dirinya berada disini.

Mas Iwa awalnya menceritakan bahwa dirinya sudah puasa memegang microphone selama kurang lebih 2 tahun. Tentu saja hal itu dilakukan bukan tanpa sebab. Tapi apapun itu, tentu saja laku menahan diri tetap menjadi sesuatu yang tidak mudah. Terlebih dalam kepungan zaman yang seolah selalu mengajak untuk berdebat dan menyuarakan sesuatu. Oleh karena itu, Mas Iwa pada akhirnya menemukan padanan yang tepat untuk melihat zaman yang menurutnya serba semrawut, yakni maklum.  Mencoba memaklumi setiap apapun yang terjadi. Dan mudah-mudahan selalu bisa menjadi pengingat terutama bagi diri.

"Rumusnya mudah, ketika kita mulai berharap pada makhluk, kita mesti siap untuk kecewa." kata Mas Iwa. Dalam keadaan ombang-ambing atau ketidakjelasan arah seperti ini, Mas Iwa menegaskan bahwa Allah sepertinya ingin mengajak kita untuk lebih mempresisikan diri dan menghitung kembali setiap langkah yang akan kita lakukan.

Apapun yang diciptakan itu memiliki pola. Dalam khasanah Jawa atupun Sunda, Menurut Mas Iwa, kita sudah memiliki hitung-hitungan yang sudah akurat. Bahwa karena terlalu sungguh-sungguhnya Allah menciptakan alam semesta, dalam pandangan kita yang masih awam, ternyata semua itu teratur dan berpola.

Mas Iwa kemudian juga bercerita tentang bagaimana persambungannya dengan Alm. KH. Muzzammil dan Mas Pujianto. Mas Iwa mengatakan bahwa berpulangnya kedua orang dekatnya itu masih terasa awang-awang. Tapi bagaimanapun kondisinya, Allah-lah yang berkuasa atas segala sesuatu. "Dan begitulah hidup." ujarnya. Salah stu pesan dari Mas Iwa, karena parameter kehidupan saat ini tidak jelas, maka ketika kita hidup di zaman seperti ini (terombang-ambing), salah satu yang harus dikuatkan adalah membina hubungan baik terutama kepada orang-orang yang telah meninggal.

Niat Kebersamaan Tidak Menjadi Tanda Perpisahan

Sebelum memasuki sesi terakhir, yakni tanya jawab. Sebuah sajian hiburan diberikan oleh adik kecil bernama Pribumi Daya Langit, bersama ayahnya. Daya, nama panggilannya, menampilkan sebuah puisi yang diiringi petikan gitar langsung oleh Sang Ayah. Darah seni dan budaya nampaknya menurun ke putranya tersebut, suguhan puisi Daya mampu membuat suasana seperti lebh hidup. Pun ketika Daya melanjutkan dengan sebuah lagu, setelah puisi usai terlantun.

Moderator kemudian mulai menawarkan respon atau pertanyaan kepada dulur-dulur yang datang. Mas Muchlis lekas mengangkat tangannya dan mengajukan sebuah tanya. Kurang lebuh Mas Muchlis menanyakan tentang kaitan antara sabar dan syukur, dan mana yang lebih baik menurut Gusti Allah. Serta sebuah tanya mengenai bagaimana mengkonfirmasi sebuah perbuatan itu bermanfaat atau tidak?

Pak Adi sebagai moderator langsung meminta Pak Amron untuk merespon pertanyaan dari Mas Muchlis. Pak Amron menyampaikan bahwa yang nantinya menjadi sebuah manfaat atau tidak itu ukurannya ketika nafsu diri kita menjadi semakin bertambah berat. Padahal, apapun yang kita lakukan asalkan dengan niat yang baik, pasti akan bermanfaat di waktu yang tidak bisa kita pastikan kedatangannya.

Pertanyaan berikutnya datang dari Mas Aam, menanggapi apa yang telah disampaikan oleh Mas Iwa dari terutama atas pemakluman yang keadaan yang kita alami sekarang, apakah itu berarti kta sedang diperingatkan, dihukum, atau istidraj (dibiarkan)?

Mas Iwa menanggapi bahwa yang pertama, nahwa dari yang namanya risalah dan nubuwah sampai akhir zaman akan tetap ada; Yang kedua, risalah atau nubuwah tersebut turun ke dunia, dia butuh sebab atau media. Seseoran yang dilantik mendapat amanat untuk menjaga risalah atau nubuwah, Mas Iwa bercerita pasti akan mengalami keadaan ditinggal oleh orang-orang terkasih.

Dan terkait pertanyaan yang datang, tentu jawabannya amat sangat personal, tergantung keadaan diri. Tapi karena alam ini harus berjalan dan diseimbangkan, maka yang baik dan buruk haris dipisahkan.Mas Iwa menekankan bahwa sikap yang bisa kita ambil adalah kita harus menyadari bahwa kita telah diberikan suatu hadiah terbaik berupa nasihat. Dan nasihat terbaik itu adalah kematian.

Tak terasa waktu pun sudah mencapai batas perjumpaan pada malam ini. Untuk bagian terakhir, Pak Adi meminta satu closing statement dari masing-masing Gus Asbid, Pak Amron, ataupun Mas Iwa. Secara singkat, Gus Asbid yang baru pertama kali membersamai sinau bareng Maneges Qudroh hanya menyampaikan, bahwa semoga niat kebersamaan tidak menjadi tanda perpisahan. Pak Amron menyampaikan, kalau kita bisa meniti jalan dengan memegang prinsip pada kearifan, maka dalam perjalanannya pasti akan melalui sebuah proses, yakni sabar. Mas Iwa mengingatkan kembali bahwa dalam melihat suatu keadaan kita tidak akan bisa lepas dari sesuatu yang bersifat teks dan konteks, maka telitilah kembali.

Acara dipuncaki dengan pembacaan puisi yang dibawakan oleh Mba Kiki dan melantunkan bersama "Shohibu Baiti". Semoga dengan pembelajaran malam ini, dulur-dulur mampu lebih meneguhkan cinta agar tidak mudah terombang-ambing oleh zaman ataupun keadaan. Terimakasih atas kemesraan yang telah terbangun menjadi sebuah rekam pengalaman yang semoga mampu berbuah baik di waktu yang akan datang. Matursuwun.

***

Omah Maneges, 5 Juni 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun