Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Si Peneror dan Ahli Kutuk

30 Maret 2021   16:17 Diperbarui: 30 Maret 2021   16:22 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa orang itu suka dengan kata mengutuk? Tidak adakah kata yang lebih baik daripada menggunakan kata tersebut? Sekalipun dikata bukan manusia dengan perilaku di luar batas kewajaran, tapi nyatanya mereka berwujud manusia. 

Ditakdirkan menjadi manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan alur dan jalan pemikirannya, meskipun aktualisasi dari semua proses belajarnya dia sendiri yang menentukan.

Apakah karena kita sudah benar lantas kita punya hak untuk mengutuk? Benar apabila kutukan merupakan salah satu wujud dari hukuman atas sesuatu yang dilakukan. Dan saya sendiri sangat setuju bahwa hukuman merupakan pembebasan. Pembebasan akan apa? Kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan. Tanpa perlu manusia diajarkan contoh dan cara mengutuk, hukum itu pasti akan berlaku.

Lantas bagaimana dengan orang yang melakukan tindakan terorisme? Yang meresahkan dan mengancam keamanan lingkungan.hingga nyawa menjadi taruhannya. Kalau dikaitkan dengan hal tersebut, tidak ada salahnya kita kembali cerita-cerita tawanan yang selamat dari peperangan pada masa Kanjeng Nabi. Adakah mereka langsung diberi hukuman mati?

Bahkan, ketika ada pembagian harta rampasan perang, para tawanan perang itu diberi porsi yang lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang ikut berjuang bersama Kanjeng Nabi. Bukankah itu tidak masuk akal? Tapi disitulah seharusnya kita banyak belajar terkait logika nubuwah. 

Memang benar kita bukan nabi, tapi kita dituntun untuk mengikuti akhlaknya. Andaikata pemimpin kita tidak mengajarkan kutukan dan memberikan contoh sebagaimana yang telah diajarkan, tentu kebencian dan amarah, ataupun dendam berkepanjangan akan sedikit bisa diminimalisir.

"Tapi bagaimana jika pelaku tindakan teroris tersebut mati?"

Lhoh, yang salah subjek pelaku atau tindakan terorisnya? Kita diberikan opsi untuk membenci kedua-keduanya, baik pelaku atau aksi yang dilakukannya. Toh, si pelaku sebelum aksinya juga percaya bahwa kebenaran yang dimilikinya benar. 

Kepercayaan tersebut memiliki takaran dan porsi yang sama dengan apa yang kita miliki sekarang.Semua juga memiliki pegangan dalil yang sama-sama dipercayai kebenarannya.

Apa yang telah dilakukan oleh pelaku pun sudah terjadi di masa lampau, lalu apa gunanya membenci? Apakah dengan membenci kita bisa menghidupkan pelaku dan korban? Karena yang kurang tepat adalah tindakannya, baik bunuh diri ataupun aksinya. 

Sedang semua tindakan itu berasal dari asupan-asupan informasi yang diterimanya melalui informasi atau kata-kata yang didapat. Itupun belum menjadi faktor pendukung 100%, masih ada pengaruh lingkungan, dsb.

Manusia sudah pasti menjadi tempatnya salah, kecuali orang-orang yang telah dipilih menjadi kekasih-Nya. Seharusnya kita pun tidak kaget atau gumunan terhadap hal-hal yang melenceng dari norma dan aturan adab yang berlaku. 

Membenci juga tidak menambah nikmat, justru akan semakin menambah sesak diri sendiri. Jangan lupa kalau opsi memaafkan juga selalu ada dalam dunia yang penuh akan kesalahan dan itu normal. Yang tidak normal itu ketika suatu saat tidak ada lagi pemberitaan terkait kriminal atau semua tiba-tiba menjadi baik.

Kalau pesan seseorang yang sudah seperti kakak, bahwa kita tidak akan pernah bisa lepas dari sesuatu yang bernama anggapan, asumsi, dan kata-kata sekerabatnya. Tapi di sisi lain, kita juga memiliki pilihan untuk tidak percaya kepada sesuatu anggapan atau asumsi yang berasal dari luar diri kita.

Semisal kehidupan ini ibarat sebuah pertandingan kesebelasan antara klub yang dilatih oleh Kanjeng Nabi dengan klub yang dilatih oleh Iblis. Sanggupkah kita memprediksi ada di menit ke berapa pertandingan ini sudah berlangsung? Terus berapa skor sementara yang tertera di papan skor? Unggul mana? Mengapa harus ada pertandingan kalau yang tercipta hanya situasi kompetisi atau unggul-unggulan?

Padahal sponsor utama yang menyelenggarakan pertandingan dan membuat semua itu tercipta, hingga bisa kita nikmati permainan dan segala citra keindahann yang ditunjukkan. Ia hanya menjawab, "sesuka-sukaku!" Kalian bisa mengutuk, bahkan menjadi ahli kutuk juga karena perkenaan-Ku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun