Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nikmat Cinta yang Dititipkan Lewat Kata-kata

26 Maret 2021   15:59 Diperbarui: 26 Maret 2021   16:10 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu malam, Gus Welly dan Rohmat memiliki rencana akan pergi ke rumah Bewol. Sebelum berangkat, mereka berdua mampir ke toko jualan martabak telor yang searah dengan jalan menuju rumah Bewol. Tak menunggu lama setelah martabak terbungkus rapi dengan ektra acar yang disukai olehnya, mereka pun langsung bergegas melanjutkan perjalanannya.

Sesampainya di rumah Bewol, seperti biasa mereka duduk-duduk di teras rumah sembari menikmati gemerlap bintang gemintang karena kebetulan langit malam itu sangat cerah. Bewol keluar sembari membawakan dua gelas kopi hitam kesukaan mereka. Gus Welly punya selera kopi tanpa gula, sedangkan Rohmat menyukai kopi arabika dengan tambahan gula yang mondo-mondo. Martabak yang dibawa pun segera dibuka bungkusnya dengan harap bisa dinikmati bersama.

"Kalian tunggu dulu ya, masih ada yang harus aku selesaikan. Sebentar." kata Bewol sembari menampakkan senyum lugunya.

"Lhah, ini lho sudah dibawakan martabak. Mbok ya dimakan dulu bareng-bareng." ajak Rohmat.

"Iya Wol, keburu dingin kalau masih harus nunggu kamu." timpal Gus Welly.

"Maaf, untuk kali ini saja tak ijin sebentar." kata Bewol sembari lari masuk ke dalam dengan keadaan pintu yang masih terbuka.

Mau bagaimana lagi, Gus Welly dan Rohmat pun terpaksa menunggu Bewol menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan. Menit dan menit dihabiskan dengan bermain dengan gadget-nya masing-masing. Tak terasa waktu sudah berlalu hampir setengah jam dan Bewol belum keluar. Martabak sudah terlanjur mendingin. Karena penasaran dan sedikit terpancing rasa ingin tahu, Rohmat pun memutuskan untuk melihat apa yang dlakukan kawannya. Kebetulan pintu rumahnya juga masih terbuka.

Rohmat pun masuk diam-diam dengan langkah jinjitnya, mencoba ngintip apa yang membuat Bewol sampai lupa kalau ada teman yang sedang menunggu. Kembalinya dari dalam rumah, Gus Welly pun segera menanyakan aktivitas yang sedang dilakukan Bewol. Dengan muka masam dan cengar-cengirnya, Rohmat menjawab, "Entah sedang menulis apa si Bewol. Kelihatannya serius karena suara ketikannya keyboard-nya bertempo tinggi. Tapi bisa juga tidak serius, kalau melihat mimik mukanya, dia nampak sedang bahagia dengan senyumnya."

"Ya sudah, mungkin dia sedang mentransliterasikan apa yang ada dalam angannya waktu itu." tegas Gus Welly.

"Oiya, yang kita malah berdebat mau mengganggunya itu ya?" jawab Rohmat.

"Iya, makanya sekarang kita biarkan saja."

Tak selang berapa menit, Bewol pun keluar, "maaf Lur baru selesai."

"Maafmu itu gak bisa buat martabak ini hangat lagi." jawab Rohmat agak sinis.

"Gapapa." jawab Gus Welly. "Tapi tumben sekarang kamu jadi agak tega sama kita." lanjutnya.

"Gak tega Gus, keburu hilang nikmatnya tadi. Sudah dikasih nikmat kok dibiarkan begitu saja." jawab Bewol sembari mengambil sajian nikmat berikutnya berupa martabak.

"Owalah, makanya tadi cengar-cengir sendiri. Ternyata sedang menikmati sesuatu to, tapi kamu pelit soalnya kita gak dibagi-bagi." sahut Rohmat.

"Mat, kamu tadi sudah masuk rumah. Kenapa hanya dengan lihat aku yang sedang cengar-cengir terus kamu malah jadi mrengut?"

Bewol pun kemudian menceritakan apa yang sedang dialaminya dan apa yang sedang dilakukannya karena takut kedua kawannya tersebut hanya berprasangka tidak sebagaimana mestinya. Meskipun kalau dibiarkan prasangka kedua kawannya itu beterbangan juga bukan merupakan sebuah masalah, akan tetapi Bewol lebih memilih untuk membatasi dan segera memberikan informasi kebenarannya.

Seperti yang Rohmat lihat, Bewol sedang menuliskan kata-kata yang dituliskannya sebagai sebuah wujud syukur atas banyak kenikmatan yang telah diberikan oleh Semesta kepada dirinya. 

Bewol memberikan contoh martabak yang dibawakan oleh kedua kawannya ini juga termasuk salah satu nikmat, tapi tidak cukup kuat untuk mampu menggerakkan jari-jemarinya untuk lantas menuliskan kekuatan syukur yang dialaminya. "Karena sudah menjadi kebiasaan (saling membawakan martabak)." pungkas Bewol.

"Pasti nikmat yang datang karena perempuan, kan?" tebak Gus Welly.

"Kalau hanya masalah perempuan Wol, percuma kamu banyak bermain dengan kata-kata. Perempuan itu tidak butuh kata-katamu, dia hanya melihat dan merasakan apa-apa yang kamu lakukan secara langsung. Aktualisasikan nikmatmu itu secara langsung!" Rohmat mendadak menjadi sok bijak.

"Iya perempuan, Gus. Tapi Mat, dari perasaan menuju pikiran dan merangkainya dalam kata-kata pun aku masih merasa belum tuntas. Jadi, bagaimana mungkin aku mengaktualisasikannya secara nyata? Kamu juga tahu dan paham betul, kalau aku jarang berkomunikasi apalagi bermain dengan wanita." terang Bewol.

"Mbok ya sing thas-thes (cekatan), apalagi kamu seorang laki-laki. Nanti keburu hilang."

"Lantas kenapa kalau hilang? Sekarang pun kalau dia hilang itu bukan masalah. Nikmat cinta yang dititipkan ini pun tak lantas menuntutnya untuk ada atau hadir didepanku. Bahkan, memiliki harapan untuk mendapatkan balasan perasaannya pun tidak."

"Kalau hanya itu yang kamu lakukan, kamu mau diam atau suka memilih diam, yang mungkin juga justru menjadi  jadi hobi baru, yakni ngrepotin malaikat?" tanya Gus Welly.

"Bukan gitu, Gus. Lagian malaikat mana yang malah tunduk bukan atas perintah Sang Majikan satu-satunya."

"Dan biarkan aku mencintanya dengan caraku sendiri. Tanpa huruf "i" lho. Aku biarkan kata-kata itu berceceran dan berserakan agar ia ditemukan oleh sesorang yang sanggup meletakkan di tempat yang tepat. Bahkan kalaupun memungkinkan, menatanya agar tampak lebih indah."

"Repot-repot nduwe konco koyok kowe, Wol. Ojo meneh sesuk bojomu. Tur kata-katamu ora iso marai anak bojomu wareg (repot punya teman seperti kamu, apalagi besok istrimu. Terlebih kata-katamu tidak bisa membuat anak istrimu kenyang)!" ejek Rohmat.

"Amiiin... ." Gus Welly dan Bewol selaras mengaminkannya.

"Lhoh, kok malah di-amin-i?"

Mereka berdua pun hanya tertawa dan melanjutkannya dengan pembahasan topik yang lain. Malam itu tetap hangat meskipun langit nan nampak berbinar-binar, pun dengan martabaknya yang terlanjur sudah menjadi dingin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun