"Iya perempuan, Gus. Tapi Mat, dari perasaan menuju pikiran dan merangkainya dalam kata-kata pun aku masih merasa belum tuntas. Jadi, bagaimana mungkin aku mengaktualisasikannya secara nyata? Kamu juga tahu dan paham betul, kalau aku jarang berkomunikasi apalagi bermain dengan wanita." terang Bewol.
"Mbok ya sing thas-thes (cekatan), apalagi kamu seorang laki-laki. Nanti keburu hilang."
"Lantas kenapa kalau hilang? Sekarang pun kalau dia hilang itu bukan masalah. Nikmat cinta yang dititipkan ini pun tak lantas menuntutnya untuk ada atau hadir didepanku. Bahkan, memiliki harapan untuk mendapatkan balasan perasaannya pun tidak."
"Kalau hanya itu yang kamu lakukan, kamu mau diam atau suka memilih diam, yang mungkin juga justru menjadi  jadi hobi baru, yakni ngrepotin malaikat?" tanya Gus Welly.
"Bukan gitu, Gus. Lagian malaikat mana yang malah tunduk bukan atas perintah Sang Majikan satu-satunya."
"Dan biarkan aku mencintanya dengan caraku sendiri. Tanpa huruf "i" lho. Aku biarkan kata-kata itu berceceran dan berserakan agar ia ditemukan oleh sesorang yang sanggup meletakkan di tempat yang tepat. Bahkan kalaupun memungkinkan, menatanya agar tampak lebih indah."
"Repot-repot nduwe konco koyok kowe, Wol. Ojo meneh sesuk bojomu. Tur kata-katamu ora iso marai anak bojomu wareg (repot punya teman seperti kamu, apalagi besok istrimu. Terlebih kata-katamu tidak bisa membuat anak istrimu kenyang)!" ejek Rohmat.
"Amiiin... ." Gus Welly dan Bewol selaras mengaminkannya.
"Lhoh, kok malah di-amin-i?"
Mereka berdua pun hanya tertawa dan melanjutkannya dengan pembahasan topik yang lain. Malam itu tetap hangat meskipun langit nan nampak berbinar-binar, pun dengan martabaknya yang terlanjur sudah menjadi dingin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H