Bagi orang tekstual, Fir'aun sudah pasti tidak termasuk sebagai bagian dari kebaikan ilahi. Namun secara kontekstual, Fir'aun termasuk salah satu bagian dari seseorang yang mendapatkan kebaikan melalui upaya dan berbagai kebaikan yang telah dilakukan. Hanya saja jangan sangka bahwa kebaikan itu melulu merupakan sebuah reward atau penghargaan. Karena yang terjadi bisa sebaliknya, kebaikan itu bisa berupa hukuman atau penjara.
Kita bisa lihat bagaimana orang-orang dahulu menghukum seseorang dengan menggunakan tiang gantungan, lantas digantungnya si tersangka di muka umum dengan podium yang tinggi. Tentu ada maksud dari semua itu, utamanya agar mampu dilihat oleh orang-orang yang ingin menyaksikannya.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, tiang hukuan nan tinggi itu tak lantas tersusun atas bongkahan kayu. Tiang itu sekarang bisa berupa posisi-posisi strategis dalam sistem hierarki, atau dengan singgasana kursi-kursi mewahnya. Bisa juga berupa status sosial atau keberhasilan-keberhasilan dunia lainnya sehingga membuat dirinya mudah terlihat. Kita tidak pernah mengetahui cara Tuhan menyergap seseorang, salah satunya Fir'aun atau penguasa-penguasa dholim lainnya yang nyatanya justru diberikan posisi yang tinggi.
Lantas dimanakah "aku" yang sering kita bicarakan? Kalau semua merupakan manifestasi wajah-Nya. Yang mana tak ada satu orang pun yang mampu mengkonsepsi kekuasaan dan kerajaan-Nya. Kalaupun manusia mampu mengejewantahkannya, sudah dapat dipastikan bukan itu. Kecuali hanya melalui analogi atau perumpaan yang memudahkan.
Mengapa tingkah laku kita sering meniadakan? Lantas, apa masih ada duka itu harus tersisa, jika kita telah mengorbankan "aku"? Jika kelak suatu saat terdengar kata "tinggalkanlah", maksudnya bukan berarti aku akan meninggalkan kita, melainkan "aku" itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H