Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Akuntan - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tinggalkanlah "Aku"!

26 Januari 2021   16:06 Diperbarui: 26 Januari 2021   16:13 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash/zachary-kadolph

Dalam sebuah perbincangan orang-orang sering beradu capaian mengenai "aku"-nya masing-masing, sekalipun tidak ada yang bertanya. Situasi tersebut secara tidak langsung mengajak orang yang mendengarkannya untuk lebih mengenal si pembawa cerita, apabila yang banyak diungkapkan adalah keakuannya.

Begitupun bagi si pendengar, untuk memahami posisi menjadi pendengar yang baik juga butuh upaya ekstra untuk menahan diri. Terlebih jika yang didengar selalu memacu diri untuk mengatakan bahwa "aku pun telah mengalaminya" atau "itu belum seberapa daripada aku yang... ."

Tentu dibutuhkan racikan porsi dan takaran yang tepat untuk dapat membuat suasana perbincangan itu nyaman ketika dilakukan. Saling memberikan perhatian dengan bergantian melontarkan apa-apa yang telah didapati oleh masing-masing agar dapat saling berbagi kenikmatan. Baik itu ilmu, pengalaman, atau berbentuk hikmah cerita.

Karena bisa jadi cerita-cerita ringan yang saling kita dengar sehari-hari, merupakan sebuah manifestasi masalah problematika dunia. Hanya skala konsekuensi dan proyeksi wilayahnya saja yang berbeda. 

Oleh karena itu, fokus dan kecermatan sangat dibutuhkan sebagai sebuah upaya menjadikan segala sesuatu yang kita dengar, lihat, atau ungkapkan sebagai pembelajaran. 

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang dibutakan, ditulikan, ataupun dibisukan. Apalagi sampai  dibiarkan golongan-golongan yang telah tertutup pintu hatinya.

Syarat dari semua itu tentunya menyadari hal yang sebenarnya sepele, tapi sangat sulit untuk dipraktekkan. Yakni membiasakan diri menghadirkan kebaikan Tuhan saat mendengar, melihat, atau berbicara, bahkan ketika hati sedang mengalami sebuah fenomena rasa. Jika mampu mengendalikan kesadaran tersebut, lambat laun, eksistensi kata "aku" akan semakin berkurang kehadirannya. Kita akan semakin lebih berhati-hati dan waspada atas apapun yang dihadapkan.

Kalaupun terasa sulit untuk mendapatkan sebuah hakikat kehidupan, cukup dengan banyak-banyak mengingat-Nya akan berdampak banyak terhadap segala aspek pemikiran yang nantinya mempengaruhi pola kebiasaan diri. Karena dua hal terpenting dari konsep penyatuan adalah sadar akan perbedaan dan rela untuk meniadakan diri atau banyak-banyak menghilangkan "aku".

Mungkin saja, kelembutan dan kebaikan ilahi sudah banyak dirasa karena itu semua masuk ke dalam segala sesuatu yang masuk dalam kekuasaan-Nya. Namun, jika kita banyak meng-"aku"-kan diri, dikhawatirkan nantinya kita akan ingkar terhadap segala kebaikan yang telah diberikan. Tentu saja hal ini juga mudah untuk dibantahkan karena sifatnya yang sirr atau hanya diri sendiri yang mengetahui.

Umumnya, orang tidak bisa mengetahui bagian dalam masing-masing orang yang ditemuinya hanya dengan sebuah perkenalan, kecuali hanya mengenali bagian luar atau permukaannya saja. Oleh karena itu dibutuhkan intensitas perkenalan yang lebih banyak, karena dengan mengetahui banyak bagian luar, sedikit demi sedikit kita akan menemukan jalan memasuki bagian isi atau dalam.

Kita akan banyak diberikan fenomena keindahan antara kebaikan ilahi dan upaya kesungguhan, karena kedua hal ini berbeda. Misalnya saja, para nabi mendapatkan kebaikan ilahi tanpa upaya pribadi. Akan tetapi, upaya kesungguhan dan kejujuran diri mampu mengantarkan seseorang untuk mendapatkan kebaikan ilahi.

Bagi orang tekstual, Fir'aun sudah pasti tidak termasuk sebagai bagian dari kebaikan ilahi. Namun secara kontekstual, Fir'aun termasuk salah satu bagian dari seseorang yang mendapatkan kebaikan melalui upaya dan berbagai kebaikan yang telah dilakukan. Hanya saja jangan sangka bahwa kebaikan itu melulu merupakan sebuah reward atau penghargaan. Karena yang terjadi bisa sebaliknya, kebaikan itu bisa berupa hukuman atau penjara.

Kita bisa lihat bagaimana orang-orang dahulu menghukum seseorang dengan menggunakan tiang gantungan, lantas digantungnya si tersangka di muka umum dengan podium yang tinggi. Tentu ada maksud dari semua itu, utamanya agar mampu dilihat oleh orang-orang yang ingin menyaksikannya.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, tiang hukuan nan tinggi itu tak lantas tersusun atas bongkahan kayu. Tiang itu sekarang bisa berupa posisi-posisi strategis dalam sistem hierarki, atau dengan singgasana kursi-kursi mewahnya. Bisa juga berupa status sosial atau keberhasilan-keberhasilan dunia lainnya sehingga membuat dirinya mudah terlihat. Kita tidak pernah mengetahui cara Tuhan menyergap seseorang, salah satunya Fir'aun atau penguasa-penguasa dholim lainnya yang nyatanya justru diberikan posisi yang tinggi.

Lantas dimanakah "aku" yang sering kita bicarakan? Kalau semua merupakan manifestasi wajah-Nya. Yang mana tak ada satu orang pun yang mampu mengkonsepsi kekuasaan dan kerajaan-Nya. Kalaupun manusia mampu mengejewantahkannya, sudah dapat dipastikan bukan itu. Kecuali hanya melalui analogi atau perumpaan yang memudahkan.

Mengapa tingkah laku kita sering meniadakan? Lantas, apa masih ada duka itu harus tersisa, jika kita telah mengorbankan "aku"? Jika kelak suatu saat terdengar kata "tinggalkanlah", maksudnya bukan berarti aku akan meninggalkan kita, melainkan "aku" itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun