Beberapa waktu ke depan, kebiasaan kita menulis angka tahun akan segera berubah. Sebetulnya bebas juga akan berubah di angka berapa kita akan menuliskan runtutan angka. Akan tetapi, dengan kebebasan itu kita juga mesti siap dengan segala konsekuensinya karena tidak menyepakati umumnya yang telah disepakati dalam niteni tahun.Â
Yang pasti semakin berjalannya waktu, kita tidak dapat menghindari kodrat tuntutan perubahan. Pertanyaannya, perubahan ke arah mana? Menuju apa? Dari dan untuk apa kita mesti menyadari adanya perubahan?
Tahun 2020 akan segera menjadi kenangan, pun pengalaman yang akan menjadi bagian sejarah baik secara individu ataupun secara kolektif. Kedua sudut pandang tersebut tidak bisa disamakan refleksi yang nantinya bisa dirumuskan menjadi sebuah resolusi pada massa berikutnya.Â
Kalaupun bisa, kita masih rentan mencapai kemufakatan dengan menimbang keadaan, hasrat, ataupun tanggung jawab yang sangat majemuk dan sangat luas jika mesti dipelajari satu per satu.
Teringat sebuah pesan yang pernah disampaikan oleh Mbah Nun, bahwa kelemahan kita bahkan bangsa kita salah satunya adalah mencatat atau mendokumentasikan sebuah peristiwa.Â
Kita hanya asyik menikmati hingga lupa merekam peristiwa yang kelak akan menjadi pengalaman atau sejarah. Bagaimana kita bisa belajar kepada pengalaman (guru terbaik), sedangkan kita tidak punya data? Kecuali mengandalkan ingatan-ingatan subyektif yang sangat rentan terserang virus lupa.
Atau dengan mengambil salah satu catatan dari Mas Sabrang pada saat Milad "Sangaji" di bulan Februari, yang mengatakan bahwa dalam ruang kebersamaan yang paling bisa ditandai atau dimaknai sebagai tolak ukur tanda-tanda sebuah pertumbuhan adalah menyadari kesalahan.Â
Sedangkan kesalahan tertandai dari masalah-masalah yang menyapa. Jadi jangan terlalu mudah menyimpulkan kalau masalah merupakan musibah, karena bisa jadi masalah merupakan salah satu cara Tuhan menyapa diri kita. Bisa jadi masalah menjadi sebuah pertanda bahwa kita akan diajak untuk tumbuh. Apakah menyadari kesalahan itu salah?
Menahan Diri dalam Ruang Kebersamaan
Maneges Qudroh merupakan salah satu simpul Maiyah di wilayah Magelang yang menjadi sebuah perkumpulan, ruang kolektif, atau sebagai majelis paseduluran yang memiliki tanggung jawab dan amanah untuk meneruskan ilmu dan nilai maiyah kepada lingkungan sekitar.Â
Saat pembelajaran diri ke dalam sedang gencar dilakukan, sebagai kuda-kuda dalam menghadapi tantangan zaman yang menanti, justru kita kedatangan tamu Coronavirus yang tentu semakin menambah permasalahan sehingga diperlukan menghitung dan menimbang ulang kembali setiap langkah yang telah dipersiapkan.
Yang semestinya telah bersyukur karena telah mendapatkan ruang kebersamaan, seketika mempertanyakan kolektivitas ketika terjadi sebuah perbedaan. Bukannya sudah menjadi konsekuensi utama dalam ruang kebersamaan bahwa perbedaan itu akan selalu ada?Â
Bahkan ilmu akan mengalami kedewasaan ketika mendapati ruang kebersamaan, karena tanpa kebersamaan, siapa yang akan memberikan nasihat? Siapa yang akan mengajak untuk bersabar dalam menghadapi kenyataan?
Kita sebagai jamaah Maiyah pasti sudah terbiasa menjadi kaum Ghuraba atau kaum terasing. Namun, apakah idiom tersebut masih berlaku apabila kita telah diberkati bahkan dipertemukan menjadi para Al-Mutahabbina Fillah dalam berbagai ruang kebersamaan?
Kita saling banyak melontarkan kritikan kepada mereka yang bangga akan bendera-bendera identitas lembaga atau kelompok yang mengafiliasi kebenaran pribadi yang telah ditapakinya. Yang meniadakan atau menafikkan keberadaan/eksistensi selain dirinya dengan mudah mengambil kesimpulan atau pernyataan "salah" atas perbedaan yang datang bukan dari dirinya.
Secara tidak langsung, kita mendapat banyak peringatan melalui wabah atau tha'un yang sudah hampir setahun menyapa. Kita mungkin tidak menyadari kesalahan karena telah banyaknya ilmu yang dirasa telah cukup banyak menghias diri.Â
Sehingga, bendera yang tadinya menggambarkan suatu kelompok, justru tertancap dalam di dalam sanubari pribadi masing-masing seolah layak mendapati maqom atau kedudukan tertentu berdasar pengetahuan yang didapati. Yang menjadikan diri enggan berendah-hati, enggan mendapati nasihat, bahkan menolak ajakan untuk bersama-sama menahan diri dalam kebersamaan.
Mbah Nun pernah memberikan pesan dengan mengutip sebuah hadits.Â
"Allah menjadikannya rahmat bagi orang yang beriman, kemudian menahan diri di negerinya dengan bersabar seraya menyadari bahwa tha'un tidak akan mengenainya selain karena telah menjadi ketentuan Allah untuknya."Â
Keputusan tentunya menjadi kemerdekaan masing-masing, persetujuan ataupun penolakan tetap menjadi sebuah bagian akan Rahmat Allah Swt. Hanya saja, dari hadits tersebut setidaknya telah banyak didapati bahwa syarat utama dalam kebersaan ini adalah menahan diri dengan bersabar.
Menjadikan Masalah untuk Menambah Kadar Cinta
Dalam rutinan terakhir di Bulan Desember, Maneges Qudroh sendiri telah memuncakinya dengan mengambil tema pembelajaran yang banyak memuat makna tentang cinta. Kita juga telah banyak mendapati bahwa ekspresi cinta itu juga berbeda-beda, tidak bisa diseragamkan sekalipun tergabung dalam ruang kebersamaan yang sama.
Jika menarik sedari awal sepanjang perjalanan 2020, kita juga telah menerapkan prinsip Jejeg Ajeg Tatag Teteg. Yang filosofinya sudah terwakili oleh poster yang terpampang. Bahwasanya, ia adalah sebuah pohong yang menjulang tinggi. Jejeg Ajeg pohon tersebut hanyalah tentang sebuah pertumbuhannya yang mengikuti cahaya.Â
Sedang Tatag Teteg-nya adalah sebuah kesetiaan kepada cahaya. Ilmu hanyalah penghias, layaknya bunga yang disaat mekar memberikan keindahan. Tapi keindahan itu tidak abadi karena  suatu saat akan layu, gugur. Akan tetapi jika kemanfaatan ilmu itu digunakan dengan sebaik-baiknya, bukan tidak mungkin sebuah pohon baru sanggup tercipta atas andilnya.
Sekali lagi, masalah bukanlah sebuah penghambat, melainkan tantangan yang mesti ditapaki untuk naik ke level berikutnya. Masalah seharusnya tidak menjebak diri untuk fokus kepada subjek, akan tetapi lebih kepada objek dari permasalahan itu sendiri.Â
Sekalipun tidak bisa kita melepaskan dari subjek, setidaknya hal tersebut tidak menjadikan alasan bagi kita untuk mengurangi kadar cinta. Syukur-syukur justru semakin menambah rasa kerinduan dan cinta untuk tetap saling mengikat diri dalam kebersamaan.
Alhamdulillah, segala kabar dari sedulur-sedulur Maneges Qudroh tidak pernah lepas dari luasnya hikmah atas rahmat yang selalu menaungi kita. Rutinan mingguan Selasan menjadi keberkahan tersendiri bagi Maneges Qudroh karena selalu diberi kekuatan dan diperjalankan secara kolektif dengan selalu melantunkan wirid dan sholawat Maiyah.
Sebagai penutup refleksi tahun ini, tidak ada daya ataupun kekuatan yang terjadi tanpa ijin dari Allah yang selalu menjadi hikmah terlepas dari segala bentuk pengalaman yang telah dilalui.Â
Maka, sebenarnya tidak ada pengalaman itu buruk karena pengalaman merupakan guru kesejatian. Dan demi massa depan yang masih ghaib, kami hanya bisa memohon "Rabbi Anzilni Munzalan Mubarokan wa Anta Khoirun Munzilin."
***
Magelang, 31 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H