Pertama-tama saya ucapkan Selamat Hari Guru Nasional kepada seluruh tenaga pendidik, baik formal ataupun non-formal, kepada para pengajar yang selalu memegang niat ketulusan yang tak henti berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa, serta kepada mereka para pahlawan yang masih setia mengambil tanggung jawabnya sebagai pendidik tanpa tanda jasa.
Berkat peran para tenaga pendidik, bangsa ini semakin banyak memiliki orang-orang intelektual yang kedepannya akan menjadi tonggak perubahan kehidupan masyarakat secara luas, dan tentu khusus untuk dirinya sendiri. Hampir seluruh orang tua menghendaki putra-putrinya untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah formal pada umumnya, dengan harapan akan menjadi orang yang sukses.
Ya, anak-anak dituntut untuk menjadi pintar dan sukses dengan ukuran-ukuran standar nilai yang telah ditentukan. Anak-anak ditatih untuk berfokus kepada nilai yang dihasilkan, bukan proses yang dilalui untuk menempuh tujuannya. Anak-anak dilatih untuk lebih mengetahui bagaimana cara  mengawali dan mengakhiri, bukan ketika memeliharanya.
Alhasil, daya intelektual yang didapat tak berimbang dengan spiritualitas dan mentalitasnya. Sementara waktu yang dihabiskan untuk menempuh jenjang pendidikan secara formal pun sudah memakan hampir sepertiga waktu dari kesempatan hidup rata-rata. Jadi wajar saja jika mayoritas akhlak pemuda pada umumnya masih jauh dari kata keseimbangan, antara intelektualitasnya, mentalitasnya, maupun spiritualitasnya yang nantinya akan terlihat dalam moral kesehariannya.
Seiring dengan kemajuan teknologi yang sering dianggap menjadi sebuah kemudahan dalam sistem pendidikan, akan tetapi apabila tidak bijaksana dalam pemanfaataannya, justru teknologi ini akan menjadi potensi kehancuran yang menjadi ancaman yang sangat nyata. Lantas, bagaimana tindakan para tenaga pendidik semestinya? Tetap mengambil perannya, atau yang penting mendapatkan pekerjaan mesti tidak sesuai dengan koridor lajur pembelajarannya.
Sebagai orang yang pernah berkesempatan belajar menjadi tenaga pendidik, melihat fenomena yang terjadi membuat saya sendiri membuat pilihan yang sangat tidak umum. Sebagai calon pendidik kalau hanya menekankan fokus pembelajaran pada materi pelajaran, tentu hal tersebut akan sangat menjenuhkan. Apalagi, kalau seorang tenaga pendidik hanya dituntut pengetahuan atau daya intelektualnya saja, mengapa kite mesti sekolah dan tidak berguru kepada google saja?
Oleh sebab itu, pengalaman yang saya miliki sangat-sangatlah kurang untuk benar-benar memenuhi kualifikasi baik dari daya intelektual, spiritual, dan mentalitas. Karena yang ditekankan sebagai tenaga pendidik bukanlah profesi dengan standar nominal gaji tertentu, akan tetapi lebih kepada tanggung jawab atas ilmu yang disampaikan.
Sedangkan dalam hal spiritual, pendidikan formal pada umumnya hanya memberi waktu 3-4 jam pelajaran dalam satu minggu. Sedangkan dalam hal mentalitas, hanya siswa-siswi yang memiliki keberanian tertentu dalam menabrak batas yang akhirnya mendapatkan banyak pelajaran dari pengalaman. Itupun sekolah tidak menyediakan mata pelajaran khusus untuk melatih mentalitas anak-anak didiknya.
Sehingga banyak orang akhirnya sering menjadikan ruang pembelajaran khususnya pendidikan formal sebagai kambing hitam atas nasib hidupnya. Atau mungkin orang-orang pada berebut peran untuk saling menggurui satu dengan yang lainnya.Â
Padahal, tujuan pendidikan formal memang untuk mempersiapkan nasib di dunia yang lebih baik. Ketika kamu atau kita sudah beranjak dewasa dan menemukan tujuan yang lebih jauh (bukan hanya sebatas dunia), lalu apakah terlihat bijak jika kita pada akhirnya menyalahkan sistem pendidikan?
Kita tidak bisa meng-generalisir, terlebih dalam satu ruangan besar bernama pendidikan tersebut, juga banyak orang-orang yang tulus dan jujur dalam memperjuangkan pendidikan dengan mengesampingkan pendapatan. Bahkan, tak sedikit pula yang mencari tambahan pendapatan, demi memaksimalkan perannya dalam bidang pendidikan yang menjadi medan perjuangannya.
Dan perlu diingat, guru tidak sebatas identitas atau sebuah profesi yang terafiliasi dalam naungan PGRI. Guru tidak selalu berada di dalam sekolah, pesantren atau lingkungan pendidikan lainnya. Guru selalu bisa menciptakan kelasnya sendiri dimanapun dia berada. Dan seorang guru yang sejati, selalu senantiasa membersamai tanggung jawab perannya hingga suatu saat nanti muridnya akan menjadi lebih hebat dari dirinya.
Seorang guru tidak melihat besaran nominal yang didapatkannya dari mengajar. Namun, rasa tanggung jawab, asih, dan kepeduliannya terhadap ruang dan waktu yang mempertemukan satu dengan yang lainnya. Hingga menjadikan ruang dimanapun ia beranjak sebagai suatu kelas yang pasti dapat menyiratkan ilmu-ilmu yang bisa didapat. Seorang guru bukan berarti berhenti belajar, namun justru belajarnya seorang guru adalah dengan mengajar terus-menerus.
Seorang guru seharusnya memahami keutamaan dari ilmu itu sendiri. Seorang guru harus mengetahui hakikat dari ilmu adalah pengamalannya. Dan seorang guru semestinya merasakan, bahwa ia telah dipercaya dan diberikan amanat sebagai seorang guru. Guru mengerti atau mengetahui bahwa dirinya mengetahui apa yang dia ketahui, setidaknya bahwa dirinya adalah seorang Guru. Atau jangan-jangan kita hanya sebatas mampu menjadi seorang pengajar?
Tapi sudahlah, semoga momentumnya tidak hanya hari ini, namun di hari-hari berikutnya. Setiap orang dengan tanggung jawab sebagai seorang guru akan lebih meningkatkan kapasitas dan kinerjanya sehingga dapat mempersiapkan peradaban masa depan yang lebih baik. Selamat!
***
25 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H