30 Oktober 2020
Seminggu berikutnya, kami berkumpul di tempat Bapak Prayitno, tepatnya berlokasi di sebelah tempat wisata Candi Borobudur. Pak Sholeh yang awalnya menjadi tempat berkumpul, namun karena sedikit kendala teknis akhirnya kami diarahkan ke tempat salah seorang kawannya ini. Tapi beruntung, akhirnya kami diperjumpakan dengan Pak Prayitno dan Pak Sigit, salah seorang kawannya.
Jumlah orang yang berkumpul juga masih sama seperti minggu sebelumnya, yakni 9 orang, hanya saja dengan formasi pemain yang berbeda. Karena salah satu visi ataupun misi dari ruang M3 ini salah satunya adalah melatih keberanian untuk berbicara di sebuah forum, maka teknis pembukaan dibuat secara bergilir seperti biasa.
Untuk tetap melatih olah pikir, pada sesi pertama kita diberikan instruksi untuk bebas memilih satu kata, lalu masing-masing secara bergiliran diberikan kesempatan untuk menjelaskan kata yang telah dipilihnya dengan durasi waktu 1 menit. 8 kata yang terpilih secara random tersebut ketika itu adalah kepingan sebuah puzzle, ternyata dapat menjadi sebuah pola. Penulis secara subjektif merangkainya menjadi: kata -- berbenah -- kembali -- pikir -- metamorfose -- rindu -- dzikir -- dan berakhir di perubahan.
Berikiutnya, satu orang diberi instruksi untuk bebas memilih menanggapi salah satu kata yang dimiliki oleh selain miliknya. Dengan durasi yang masih sama, lalu bebas menunjuk kawannya untuk mendapat giliran memberi tanggapan berikutnya, dan seterusnya.
Lalu, kembali dirinya merefleksikan apa yang pilihan katanya diberi tanggapan oleh orang lain, sama dengan maksud awal tujuan dirinya memilih kata tersebut? Meski dengan durasi yang lebih lama, ternyata untuk dapat berbicara secara terstruktur dan mudah dipahami tidaklah mudah. Hal tersebut pada akhirnya tetap tergantung kepada subjek, baik bagi pembicara ataupun bagi pendengar.
Ketika sesi refleksi berlangsung, sempat datang salah seorang lagi hingga lengkap menjadi sembilan orang. Agar mudah untuk mengikuti alur, dia dipersilahkan memilih kata secara bebas. Dan terpilihlah kata jalan. Dari pemantik kata tersebut, teman-teman yang lain langsung dipersilahkan memaknainya dengan durasi waktu yang ditentukan. Ketika semua sudah selesai memberikan argumennya, lantas dia diberikan kesempatan untuk mengkonfirmasi kira-kira makna mana yang sedikit banyak nyrempet dengan maksud dari dirinya memilih kata "jalan" tersebut.
Salah satu ayat dari Ummu Kitab "ihdinash-shiratal mustaqim" sepertinya menjadi salah satu makna yang paling terekam di pemaknaan kata jalan. Ya, kita setidaknya harus memegang kesadaran untuk selalu merasa tersesat, karena kita tidak pernah mengetahui jalan yang benar, baik, mustaqim, bahkan yang haq untuk benar-benar bisa menuntun untuk kembali pulang (menuju kehidupan berikutnya) dengan selamat. Oleh karena itu, kita selalu memohon petunjuk jalan yang lurus/mustaqim minimal kita amalkan secara wajib 17 kali dalam sehari.
Selain itu adalah dzikrullah. Berulang kali Pak Sigit dan teman-teman yang lain memakai kata dzikir ini. Pada malam hari itu, sedikit banyak kita mendalami makna dzikir yang bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Asalkan kita ingat kepada Allah, hal tersebut sudah menjadi sebuah proses dzikir. Dan apabila dzikir ini dapat selalu tertanam dalam pikiran kita, lantas betapa hebatnya dzikir itu ternyata dapat mempengaruhi perilaku, kebiasan, watak, yang sudah pasti akan tercermin menjadi akhlak.
Permainan sederhana seperti itu pun ternyata tak terasa cukup banyak memakan waktu hingga waktu hampir menunjukkan waktu tengah malam. Setelah break sebentar, agenda selanjutnya malam itu adalah sedikit menyusun formasi untuk teknis acara rutin bulanan MQ di minggu berikutnya. Tentu saja formasi yang dibuat adalah sebuah bentuk penawaran, bukan sebuah keputusan. Setelah kebutusan untuk teknis acara sekiranya sudah terisi semua, acara pada malam hari itu pun diakhiri. Kami pun bersama-sama membersihkan dan merapikan kembali tempat Bapak Prayitno sebelum berpamitan pulang.
***