Semua orang memiliki standar kebenaran melalui apa yang didapatkannya, baik melalui ilmu atau pengalaman. Semua memiliki pendarannya sendiri di wilayah masing-masing. Cahaya matahari akan memastikan samudera menjadi biru, tapi apakah cahaya lilin mampu melakukan hal yang sama?
Saya sedikit sedih ketika negara atau pemerintah seringkali menjadi sasaran standar kebenaran. Yang terjadi entah kenapa saling berebut menerangi. Namun, apa hanya di negara kita saja semua mengalami ketidakpuasan atas apa yang dianggapnya belum benar atau tepat menurut standar kebenarannya? Tidak, banyak negara yang lain pun mengalami hal yang sama.
Jika saya memiliki pandangan seperti itu, apa saya berarti tidak setuju dengan orang yang berpandangan melawan atau mengkritik? Saya bahkan curiga bahwasanya orang melampiaskan kegagalan hidupnya kepada orang yang diberikan mandat mengelola tata negara karena dianggap tidak becus. Saat sebenarnya hanya sendiri yang sebetulnya tidak becus untuk berada di kedua wilayah yang terus saja bertentangan.
Lhoh, kita sering mengemis akan perubahan. Tapi di sisi lain, kita tidak siap akan datangnya ujian. Kita memiliki opsi berpuasa, namun kita lebih memilih untuk berbuka dan melampiaskan. Kita mudah dipermainkan oleh stimulan-stimulan informasi yang bersifat mengadu-domba. Kita banyak menyangka kemerdekaan itu ketika semua terpenuhi hak akan kesejahteraan hidup. Namun, bukankah menurut Simbah kemerdekaan itu ketika kita mampu mengenali keterbatasan?
Andaikata semua sudah sejahtera, lalu dengan mentalitas seperti ini, kira-kira akan seperti apa jadinya negara ini? Andaikan semua memiliki kehidupan yang sama dengan yang lainnya, lantas apa yang akan kita lakukan? Pikinik? Membeli semua keinginan yang selama ini mustahil terpuaskan? Memiliki istri 4?
Kita sibuk merongrong terhadap penguasa, sehingga lalai terhadap diri sendiri. Kita sibuk menangisi ketidakadilan, hingga kita lupa atau sering menunda kewajiban yang seharausnya dilakukan. Padahal, kita tidak akan menemukan kedamaian itu selama kita masih diberi kesempatan untuk hidup sekarang. Bahkan, ketika kesejahteraan itu tercapai. Apakah bagian dari adzan “hayya ‘alal falaah” akan dihilangkan?
Adzan itu akan terus berkumandang menpa menghilangkan bagian tersebut, karena tidak ada standar kebenaran satupun yang mampu menapaki makna kemenangan tersebut. Kemenangan itu apakah tujuan atau sama halnya seperti kedamaian yang hanya datang dan pergi. Dan ketika saya memilih tidak melawan, apakah berarti saya menyerah? Ketika saya tidak memiliki hasrat ataupun amarah, apakah itu berarti saya berheti memperjuangkan?
Pertanyaan itu pun bukan mengarahkan maksud agar kita tidak boleh melampiaskan amarah. Kanjeng Nabi pun marah ketika Abu Jahal melakukan sesuatu yang berlebihan, tapi pernahkah kita melihat beliau membalas dengan melempar batu, melempar kotoran, atau yang lainnya? Yang beliau lakukan hanya merintih kepada Allah, agar Ia yang membalasnya.
Tapi kita bukan kekasih Allah dan jangan ge-er pula merasa telah mendapatkan pembelaan dari-Nya. Atau begini saja, sudahkah kita setidaknya mengambil banyak pelajaran dari akhlak yang dicontohkan Kanjeng Nabi? Sehingga membuat Allah selalu mencintai orang-orang yang selalu mengikuti (akhlak) kekasih-Nya.
Berbeda dengan zaman sekarang ini. Saya curiga andaikata besok negara ini mampu mencukupi dan memakmurkan segala rakyatnya yang bermental layaknya apa yang ada di zaman ini, betapa besarnya kesombongan yang akan menjadi pemandangan sehari-hari. Benar jika curiga tak lebih dari memprasangkai. Tapi kalau tidak dengan prasangka, bagaimana kita akan bisa waspada?
Kurangi mencaci, menghujat, bahkan melaknat sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Meski yang nampak adalah ketidakadilan, namun spekulasi-spekulasi seperti itu hanya akan semakin menambah aura negatif dan makin memperkeruh suasana. Tuhan pun memiliki rencana yang lebih baik termasuk apa yang sedang terjadi satu detik sebelumnya.
Yang kita sangka buruk bisa justru sebaliknya, kita tidak pernah memahami apalagi mengerti. kita hanya jangan sampai lupa diri bahwa kita ini manusia. Yang pasti menghamba. Yang memang lemah. Yang memang tertindas. Yang memang tidak memiliki apapun. Yang memang suka bermain-main dan membohongi diri sendiri.
Bisa jadi kita menjadi agen perubahan di mata manusia, tapi apa itu juga akan berlaku di pandangan Allah 'Azza wa Jalla? Karena semua identitas yang berlaku di mata manusia tidak berlaku di hadapanNya. Kita sebenarnya hanya perlu mengetahui sedikit, tapi itu seluruhnya. Berbagai macam identitas bagaikan permen-permen yang mengandung gula. Kita sebenarnya hanya cukup mengerti manisnya untuk dapat mengambil hakikatnya, tapi itu berlaku menyeluruh.
Lantas, kenapa semua masih saja terus dan terus saling mengintimidasi? Jangankan rakyat dengan pemerintah, para ulama yang berlabel satu agama, yang hanya berbeda aliran apabila didudukkan satu majelis juga sepertinya sulit untuk diwujudkan. Untuk menjadi manusia, benarkah kita benar-benar lupa?
***
2 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H