Beruntung, kita telah mengenal agama. Agama merupakan pengabdian. Sekalipun diri banyak nggresulo, agama akan menuntun pribadi diri untuk tetap mengaktualisasikannya dengan kebaikan.
Pada zaman Rasullullah seseorang pernah nggresulo, "Saya tidak menginginkan agama ini. Atas Nama Tuhan saya tidak menginginkannya. Ambillah agama ini kembali! Bahkan sejak masuk ke dalam agamamu ini saya belum pernah memiliki satu hari pun yang dipenuhi kedamaian.Â
Saya kehilangan kemakmuran, kehilangan istri, tidak memiliki anak yang masih hidup, tidak memiliki kehormatan, kekuatan, atau hasrat yang masih tertinggal."
Kanjeng Nabi menjawab, "Kemana pun agama Kami pergi, dia tidak akan kembali hingga menarik seseorang keluar dari akarnya dan menyapu bersih rumahnya. Tidak satu pun akan menyentuhnya, kecuali mereka yang bersih." (56 : 79)
Selama kita memegang komitmen dengan agama sebagai bentuk pengabdian, selama itu pula pengorbanan akan selalu datang untuk memisahkan. Kita mungkin tidak sadar bahwa diri kita terlalu fokus pada sesuatu selain Dia. Syaikh Kamba sendiri dalam tetesnya juga menyampaikan tentang indikasi adanya penumpang gelap dalam agama.
Jika dalam mencintai ternyata masih tertinggal setitik ego di dalam diri, bagaimana mungkin kita akan mencapainya? Bisakah Sang Kekasih menerima cinta yang masih penuh berbalut nafsu dan syahwat?Â
Bahkan kedamaian dan ketentraman justru engkau manipulasi dan dipakai senjata untuk mengajak sejawatmu memblokir rahmat yang begitu banyak tercurah.
Seseorang berkata, "Ya Muhammad, cabutlah agamaku, karena aku tidak menemukan kedamaian!"
"Bagaimana mungkin agama kami membiarkan seseorang lepas sebelum membawanya sampai ke tujuan?" demikian Rsulullah akan menjawab.
Agama tidak mengajarkan keputus-asaan hingga sampai membawanya mencapai tujuan. Dan berusaha memisahkan dari sesuatu  apapun yang menjadikan diri terhalang untuk mencapai kedamaian itu. Sekalipun melalui permasalahan-permasalahan yang tak kunjung usai.
Nabi Muhammad pernah memberikan nasihat tentang alasan kita tidak menemukan kedamaian dan terus terjebak dalam duka-cita. Duka itu sendiri tak lebih dari sekedar muntahan atau bisa dibilang sebagai nggresulone awak.Â