Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batu yang Menangis

14 Oktober 2020   16:25 Diperbarui: 14 Oktober 2020   16:27 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Draw for God

Andai saja batu-batu yang terlempar itu sanggup menyuarakan haknya kepada manusia yang sesukanya sendiri melempar-lemparkan dirinya sebagai senjata untuk melukai manusia lainnya, apakah batu-batu yang berserakan di jalanan itu juga akan melakukan hal yang serupa kepada pemimpin mereka untuk sedikit saja membalas perlakukan manusia? Atau mungkin menangis, merintih, atau meratapi?

Apakah diri sudah merasa cukup adil sehingga tak terbesit sedikit pun rasa pakewuh atau apapun ketika menuntut keadilan? Apakah kita merasa kuat hingga serasa mendapat mandat untuk membela kaum dlu'afa? 

Di masa lalu, kaum yang dilemahkan itu jelas, tapi jika kita menerapkan dimensi ruang dan waktu, apakah kita benar-benar mengerti siapa kaum-kaum dlu'afa itu di masa kini? Apakah dlu'afa dan fakir/miskin memiliki kesamaan makna?

DI zaman sekarang, kita sering salah sangka terhadap mereka yang nampak biasa-biasa saja, baik cara berpakaiannya, kebiasaan hidupnya, bahkan tempat tinggalnya yang nampak akan rubuh, akan tetapi mereka sama sekali tidak memiliki beban hutang sama sekali. 

Berbeda dengan mereka yang terbiasa hidup glamour dengan pakaiannya yang ber-merk, hidup seperti istana, akan tetapi nominal beban hutang yang ditanggungnya mungkin mencapai sejumlah angka yang sulit dibayangkan.

Orang suka berdalih mencari rejeki berupa materi sebanyak-banyaknya supaya dapat bersedekah lebih banyak. Tapi apa Tuhan menciptakan sesuatu berupa rejeki utamanya hanya hal untuk dicari? Sedangkan Dia sudah pasti memberi kecukupan rejeki pada apapun yang Dia ciptakan. 

Dia Maha Menghitung, hanya saja keterbatasan cara pandang dan berpiir kita justru sering membuat kita curiga terhadap ke-Maha Keadilan-Nya.

Kita tidak perlu bersusah payah mencari bukti atas dalih pencarian tersebut, untuk memilah prioritas antara keinginan dan kebutuhan pun diri sendiri masih nampak kebingungan, terlebih untuk membagi-bagikannya. 

Dan keadaan yang terjadi belakangan ini, itu hanya nampak seperti semakin terbatasnya probabilitas keinginan-keinginan tiap individu untuk dapat diwujudkan sehingga mereka mencari kawan untuk melampiaskan amarah kepada para penguasa.

Ya, hiburan paling menyenangkan adalah melampiaskan amarah atas ketidakberdayaan dirinya dengan cara mencari kambing hitam atas segala ketidaknyamanan keadaan yang sedang dialami. Selain menyenangkan, hiburan ini juga bisa dibilang ekonomis. Sebenarnya kita ini kuat, kenapa mesti merasa dilemahkan?

Jangan sampai kekayaan ilmu yang dimiliki justru membuat diri lupa untuk berendah hati. Jangan sampai kekuatan yang dimiliki menjadikan diri angkuh dan merasa sanggup mengatasi segala permasalahan. 

Jangan sampai kealiman diri melalaikan diri sehingga merasa dekat dan selalu dibela oleh Tuhan. Keserakahan akhirnya memakan dirinya sendiri. Dan berhati-hatlah agar tidak termasuk orang yang lalai dalam sholatnya.

Namun, kata-kata yang tertulis ini tak lantas berniat meghilangkan ketulusan yang sudah dan sedang diperjuangkan. Hanya saja kita perlu menghitung kembali langkah dan kapasitas, sudahkah kita siap? Atau nantinya hanya akan menimbulkan chaos dan merepotkan pihak-pihak yang memiliki tugas membereskan permasalahan yang kita ciptakan.

Untuk menjadi ummatan wasathon, atau kaum penengah pun ternyata tidak mudah. Bahkan, dilirik pun tidak karena sudah tak ada sisi menariknya sama sekali untuk menjadi kaum penengah di zaman yang serba-serbi menawarkan pelampiasan. Mereka menjadi tidak terlalu berhasrat untuk kemenangan dan mereka pun tidak terlalu menggubris kekalahan.

Yang mereka takutkan bukan kekalahan tapi justru kemenangan yang bisa menjadikan dirinya terlena. Yang mereka takutkan bukan kesalahan, melainkan kebenaran yang sedang dialaminya hanya sebuah bentuk ujian atau hukuman. 

Dan mereka takut bukan karena keinginan atau harapannya tidak tercapai. Akan tetapi mereka lebih takut jika mereka tidak diberi keselamatan di dalam kehidupan berikutnya.

Seperti batu-batu yang tak sengaja sering kita jadikan sebagai senjata tindakan anarkis, awalnya mereka terdiam menangisi diri mereka sendiri larut dalam doanya. Karena mendapat kabar bahwa bahan bakar dari api neraka adalah para manusia dan bebatuan.

Akan tetapi, setelah batu itu dilempar oleh tangan-tangan manusia, mereka justru menangis lebih keras. Bukan karena sakit atau kecewa, ternyata rasa syukur telah menanungi mereka, hingga akhirnya Tuhan tidak menjadikannya salah satu dari batu-batu yang berada di neraka.

Maihkah batu tersebut tidak membuat kita berpikir?

***

14 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun