Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batu yang Menangis

14 Oktober 2020   16:25 Diperbarui: 14 Oktober 2020   16:27 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Draw for God

Jangan sampai kealiman diri melalaikan diri sehingga merasa dekat dan selalu dibela oleh Tuhan. Keserakahan akhirnya memakan dirinya sendiri. Dan berhati-hatlah agar tidak termasuk orang yang lalai dalam sholatnya.

Namun, kata-kata yang tertulis ini tak lantas berniat meghilangkan ketulusan yang sudah dan sedang diperjuangkan. Hanya saja kita perlu menghitung kembali langkah dan kapasitas, sudahkah kita siap? Atau nantinya hanya akan menimbulkan chaos dan merepotkan pihak-pihak yang memiliki tugas membereskan permasalahan yang kita ciptakan.

Untuk menjadi ummatan wasathon, atau kaum penengah pun ternyata tidak mudah. Bahkan, dilirik pun tidak karena sudah tak ada sisi menariknya sama sekali untuk menjadi kaum penengah di zaman yang serba-serbi menawarkan pelampiasan. Mereka menjadi tidak terlalu berhasrat untuk kemenangan dan mereka pun tidak terlalu menggubris kekalahan.

Yang mereka takutkan bukan kekalahan tapi justru kemenangan yang bisa menjadikan dirinya terlena. Yang mereka takutkan bukan kesalahan, melainkan kebenaran yang sedang dialaminya hanya sebuah bentuk ujian atau hukuman. 

Dan mereka takut bukan karena keinginan atau harapannya tidak tercapai. Akan tetapi mereka lebih takut jika mereka tidak diberi keselamatan di dalam kehidupan berikutnya.

Seperti batu-batu yang tak sengaja sering kita jadikan sebagai senjata tindakan anarkis, awalnya mereka terdiam menangisi diri mereka sendiri larut dalam doanya. Karena mendapat kabar bahwa bahan bakar dari api neraka adalah para manusia dan bebatuan.

Akan tetapi, setelah batu itu dilempar oleh tangan-tangan manusia, mereka justru menangis lebih keras. Bukan karena sakit atau kecewa, ternyata rasa syukur telah menanungi mereka, hingga akhirnya Tuhan tidak menjadikannya salah satu dari batu-batu yang berada di neraka.

Maihkah batu tersebut tidak membuat kita berpikir?

***

14 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun