Jangan sampai kealiman diri melalaikan diri sehingga merasa dekat dan selalu dibela oleh Tuhan. Keserakahan akhirnya memakan dirinya sendiri. Dan berhati-hatlah agar tidak termasuk orang yang lalai dalam sholatnya.
Namun, kata-kata yang tertulis ini tak lantas berniat meghilangkan ketulusan yang sudah dan sedang diperjuangkan. Hanya saja kita perlu menghitung kembali langkah dan kapasitas, sudahkah kita siap? Atau nantinya hanya akan menimbulkan chaos dan merepotkan pihak-pihak yang memiliki tugas membereskan permasalahan yang kita ciptakan.
Untuk menjadi ummatan wasathon, atau kaum penengah pun ternyata tidak mudah. Bahkan, dilirik pun tidak karena sudah tak ada sisi menariknya sama sekali untuk menjadi kaum penengah di zaman yang serba-serbi menawarkan pelampiasan. Mereka menjadi tidak terlalu berhasrat untuk kemenangan dan mereka pun tidak terlalu menggubris kekalahan.
Yang mereka takutkan bukan kekalahan tapi justru kemenangan yang bisa menjadikan dirinya terlena. Yang mereka takutkan bukan kesalahan, melainkan kebenaran yang sedang dialaminya hanya sebuah bentuk ujian atau hukuman.Â
Dan mereka takut bukan karena keinginan atau harapannya tidak tercapai. Akan tetapi mereka lebih takut jika mereka tidak diberi keselamatan di dalam kehidupan berikutnya.
Seperti batu-batu yang tak sengaja sering kita jadikan sebagai senjata tindakan anarkis, awalnya mereka terdiam menangisi diri mereka sendiri larut dalam doanya. Karena mendapat kabar bahwa bahan bakar dari api neraka adalah para manusia dan bebatuan.
Akan tetapi, setelah batu itu dilempar oleh tangan-tangan manusia, mereka justru menangis lebih keras. Bukan karena sakit atau kecewa, ternyata rasa syukur telah menanungi mereka, hingga akhirnya Tuhan tidak menjadikannya salah satu dari batu-batu yang berada di neraka.
Maihkah batu tersebut tidak membuat kita berpikir?
***
14 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H