Ketika dunia serasa tiada masalah, ternyata justru telah banyak tertimbun begitu banyak masalah. Dan ketika masalah itu nampak terlalu begitu ruwet hingga tidak tahu mengudar keruwetan itu dari sisi mana, ternyata ada celah cahaya yang menggambarkan sisi keindahan dari keruwetan itu. Yang akhirnya justru menciptakan presepsi tidak ada masalah apa-apa.
Sebelumnya ketika kita mengambil satu kata dunia saja, sebetulnya sudah begitu banyak sisi yang bisa menjadi pijakan berpikir sebelum bertemu dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan setelah dunia itu mewujud, termasuk masalah.Â
Lantas mengapa dunia diciptakan? Jika akhirnya hanya akan menjadi tempat sendau gurau, menjadi wahana bermain Ya'juj Ma'juj, atau menjadi arena perlombaan keangkuhan para manusia. Toh, tanpa terciptanya segala sesuatu itu pun, Ia tak akan merugi sesuatu apapun.
Bagaimana bila dunia sengaja diciptakan untuk para kekasih-Nya? Bukan untuk perlombaan kemegahan atau kekuasaan, bahkan untuk kebenaran yang sering disangka-sangka oleh manusia sendiri.Â
Bukan untuk memberangus segala kejahatan dan ketidakadilan. Karena pada hakikatnya, semua dikaruniai oleh kasih sayang antar sesamanya.Â
Hanya saja, banyak yang telah terpedaya oleh janji Iblis yang setia terhadap perkataannya untuk membuat segala bentuk tipu daya,untuk membenarkan dirinya bahwasanya manusia itu (yang pada waktu itu merupakan makhluk ciptaan terbaru) memang tak pantas ia beri sujud.
Ternyata senioritas yang ada di sekitar kita pun menjadi salah satu perwujudan yang mana di kalangan masyarakat langit masih tidak terima jika harus berendah diri terhadap anak bau bawang alias anak baru. Sekalipun itu merupakan perintah. Harga diri menjadi api yang paling mudah menjadi pintu masuknya segala bentuk penyakit hati.
Berbicara perihal api, lahan atau daun kering sering menjadi tumbal atas api yang semakin membesar dan meluas. Tidakkah kita lebih dahulu melihat sifat api?Â
Bahwa ia tak akan tercipta tanpa adanya udara. Dan api itu sendiri tak akan meluas tanpa sebab adanya kehadiran angin yang justru mempunyai andil yang paling besar terhadap segala kerusakan akibat kebakaran.
Situasi yang sekarang terjadi dengan begitu maraknya demonstrasi di berbagai wilayah dapat dijadikan sebagai contoh, tentang bagaimana api yang seharusnya mudah untuk dipadamkan justru semakin besar karena terpaan angin-angin isu yang ingin membuat sepercik api menjadi api membara yang membumi-hanguskan segala ketenangan.
Angin hanyalah angin, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya memiliki peran angin yang ikut menyulut api perselisihan yang kian membesar.Â
Sebagaimana angin yang hanya bergerak dari tempat bertekanan udara tinggi ke tempat yang bertekanan udara rendah, begitu juga dengan , manusia yang mengambil peran sebagai angin. Mereka juga memiliki kesamaan keyakinan atas suatu kebenaran yang menjadi pedoman pergerakannya.
Namun, apakah angin bisa berpikir sebab musabab dirinya bergerak? Apakah angin bisa berpikir akibat dari pergerakannya? Sementara di sisi lain, apakah manusia berpikir sedemikian rupa sebagaimana angin? Atau justru karena terlalu banyak berpikir?Â
Sehingga berpikir yang berlebihan menyebabkan dirinya tak sadar jatuh dalam kedangkalan berpikir karena sulit untuk fokos terhadap satu hal dalam kondisi banjir informasi di era kemajuan teknologi ini.
Buat apa pula kita membela sesuatu yang belum tentu benar-benar ingin dibela, dan justru abai terhadap sesuatu yang sesungguhnya wajib dibela. Terlebih mereka yang labil dan latah terhadap perubahan yang singkat.Â
Cara berpikir mereka juga terlatih praktis, padahal perjuangan rakaat panjang ini pun manusia sendiri tidak bisa menentukan kepastian akan benar-benar berakhir.
Membenci hanya akan membuat lelah diri sendiri. Terlalu berlebihan dalam membela sesuatu yang bisa jadi hanya "benarnya orang banyak di media sosial" juga nantinya hanya akan dihadapkan dengan kekecewaan-kekecewaan yang berputar terus menerus sesuai dengan pola yang diinginkan atas kecerdasan yang memang diciptakan untuk hal-hal tersebut.
Sebagai generasi yang sadar, satu-satunya jalan yang harusnya bisa diambil adalah ketenangan. Jangan hanyut dalam keadaan-keadaan yang seharusnya tidak menggoyahkan.Â
Segala sistem perundang-undangan atau problematika hidup apapun yang datang dari luar diri kita yang sering mengalami penyempitan makna menjadi sebuah masalah, seharusnya disikapi lebih arif dan bijaksana dengan mengganti kacamata pandang atau paradigma berfikir yang bisa jadi kurang tepat.
Kita generasi yang sadar ketika menilai ada suatu ketidaktepatan dari cara memimpinnya suatu generasi, justru hal tersebut menjadi ruang kesempatan untuk banyak belajar. Mereka lebih tua dan hanya ingin di-"orang"-kan.Â
Sebagai yang sedang dipimpin, ada saatnya kita mesti taat pada seorang imam layaknya ketika kita sedang berjamaah. Terkecuali jika si pemimpin meminta saran, pendapat, atau masukan.Â
Tapi, ia juga pasti memiliki para ahli di lingkungannya yang mungkin juga lebih menghabiskan waktunya dengan banyak memikirkan masyarakat yang sedang dipimpinnya daripada keluarganya sendiri.
Benar, kita merupakan negara demokrasi dan berhak menyerukan aspirasi dengan catatan bisa menjaga kelompoknya sendiri ketika berorasi, jangan biarkan ada oknum-oknum yang ingin menunggangi memainkan aksinya.Â
Dan berangkat sebagai generasi yang sadar, apabila terdapat ketidakpuasan atas daya pimpin para pemimpin, janganlah mau menjadi generasi penerus bangsa, jadilah generasi pembaharu!
Karena untuk merubah kebrobokan sistem bangsa, sepertinya sudah tidak memungkinkan apabila kita sudah berada pada usia produktif. Tulisan ini pun tidak akan menarik bagi mereka yang penuh dengan gelora perubahan.Â
Dan sebagai generasi yang sadar, aktualisasi nyata yang bisa dilakukan adalah membimbing generasi yang baru lahir, bertanggung jawab atas partisipasinya dalam menciptakan generasi yang lebih baik. Karena pemuda-pemudi tahun millenial sudah terlanjur rapuh dan terlalu bergantung serta candu akan kecanggihan teknologi yang melenakan.
Kalau toh pada akhirnya segala kegiatan itu hanya akan menimbulkan keprihatinan atas diri sendiri, jadikan itu sebagai sebuah tarekat untuk melatih kesabaran. Apa yang kalian takutkan sehingga mesti melakukan perlawanan dan melampiaskan amarah kepada para pengambil keputusan/penguasa.Â
Toh, apakah benar penguasa itu benar-benar seorang penguasa atau bukan? Jangan-jangan masih ada suatu kendali lagi di belakangnya.
Wahai pemuda/i, jangan sampai apa yang kalian lantangkan sekarang, kelak akan kalian jilat sendiri kata-kata itu. Jangan mudah terprovokasi dan merasa tergerak untuk ikut andil dalam suatu perubahan.Â
Ciptakanlah generasi terbaik versi kalian asal jangan menjadi generasi penerus yang mudah dibuat kagum oleh narasi-narasi romantisme masa lalu. Mandirilah dan inisiasilah semangat perubahan itu. Karena apa yang kalian anggap benar belum tentu baik, begitupun yang kalian anggap salah belum tentu buruk.
Jika tidak, jangan harap generasi selanjutnya akan mempercayai kepemimpinan kalian kelak. Karna yang kalian tanam adalah ketidakpercayaan dan amarah. Atau mungkin kesombongan, bukan kerendah-hatian.Â
Karena ketakutan kalian masih sebatas angan-angan tentang sulitnya mencapai keinginan-keinginan hidup. Belajarlah menjadi ruang, sekalipun mereka terpa dengan penindasan dan pengkhianatan.
Kalau pun tetap akan menjadi angin, jadilah angin yang menyejukkan dan menenagkan. Menebar prasangka baik untuk selalu menjunjung kedamaian dan mencahayainya dengan keramah-tamahan. Jadi sebelum merubah keadaan, sediakah kita bersama-sama belajar merubah diri sendiri?
***
Magelang, 13 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H