Angin hanyalah angin, banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya memiliki peran angin yang ikut menyulut api perselisihan yang kian membesar.Â
Sebagaimana angin yang hanya bergerak dari tempat bertekanan udara tinggi ke tempat yang bertekanan udara rendah, begitu juga dengan , manusia yang mengambil peran sebagai angin. Mereka juga memiliki kesamaan keyakinan atas suatu kebenaran yang menjadi pedoman pergerakannya.
Namun, apakah angin bisa berpikir sebab musabab dirinya bergerak? Apakah angin bisa berpikir akibat dari pergerakannya? Sementara di sisi lain, apakah manusia berpikir sedemikian rupa sebagaimana angin? Atau justru karena terlalu banyak berpikir?Â
Sehingga berpikir yang berlebihan menyebabkan dirinya tak sadar jatuh dalam kedangkalan berpikir karena sulit untuk fokos terhadap satu hal dalam kondisi banjir informasi di era kemajuan teknologi ini.
Buat apa pula kita membela sesuatu yang belum tentu benar-benar ingin dibela, dan justru abai terhadap sesuatu yang sesungguhnya wajib dibela. Terlebih mereka yang labil dan latah terhadap perubahan yang singkat.Â
Cara berpikir mereka juga terlatih praktis, padahal perjuangan rakaat panjang ini pun manusia sendiri tidak bisa menentukan kepastian akan benar-benar berakhir.
Membenci hanya akan membuat lelah diri sendiri. Terlalu berlebihan dalam membela sesuatu yang bisa jadi hanya "benarnya orang banyak di media sosial" juga nantinya hanya akan dihadapkan dengan kekecewaan-kekecewaan yang berputar terus menerus sesuai dengan pola yang diinginkan atas kecerdasan yang memang diciptakan untuk hal-hal tersebut.
Sebagai generasi yang sadar, satu-satunya jalan yang harusnya bisa diambil adalah ketenangan. Jangan hanyut dalam keadaan-keadaan yang seharusnya tidak menggoyahkan.Â
Segala sistem perundang-undangan atau problematika hidup apapun yang datang dari luar diri kita yang sering mengalami penyempitan makna menjadi sebuah masalah, seharusnya disikapi lebih arif dan bijaksana dengan mengganti kacamata pandang atau paradigma berfikir yang bisa jadi kurang tepat.
Kita generasi yang sadar ketika menilai ada suatu ketidaktepatan dari cara memimpinnya suatu generasi, justru hal tersebut menjadi ruang kesempatan untuk banyak belajar. Mereka lebih tua dan hanya ingin di-"orang"-kan.Â
Sebagai yang sedang dipimpin, ada saatnya kita mesti taat pada seorang imam layaknya ketika kita sedang berjamaah. Terkecuali jika si pemimpin meminta saran, pendapat, atau masukan.Â