Gerbang-gerbang mulai terbuka. Posko-posko mulai dirubuhkan. Kejenuhan sepertinya mulai nampak sebelum menghadapi suatu kebiasaan yang baru. Mereka kembali ke kebiasaan, entah karena keterpojokan situasi ekonomi, kebosanan akan ketidakjelasan informasi, atau kepasrahan menghadapi sesuatu yang tidak nampak oleh mata.
Mulanya, yang sedari awal gencar dengan perlawanan, lambat laun kehabisan tenaga sehingga memilih untuk memesrainya. Segala akal kecerdasan dibungkam oleh cinta yang tumbuh dengan sendirinya. Yang memaksa sebagian dari mereka menelan sendiri kata-kata yang pernah dilontarkannya, meski enggan mengakuinya. Hingga perilaku ketidakkonsistenan nampak jelas bagi mereka yang lebih memilih sabar sejak awal.
Segala ilmu memang tak bisa didapat sebatas pengetahuan, sebelum ilmu itu sendiri mewujud menjadi sebuah pengalaman. Yang memaksa kita menerapkan ilmu yang telah didapat. Namun, tak sedikit dari orang-orang itu lebih memilih sebatas pengetahuan dibanding pengalaman. Lebih memilih pintar berbicara daripada diam menghayati karena hal tersebut nampak ceroboh bahkan gila dalam pandangan masyarakat pada umumnya.
Kita terdidik melihat kehebatan kincir angin, daripada melihat angin yang menggerakkan. Kita diarahkan untuk melihat kesempitan hujatan hujan dibanding luasnya ruang kosong yang menghantarkan teteasan-tetesan air itu sampai ke tanah. Tidakkah kita melihat sesuatu yang lebih besar dibandingkan dengan kecilnya kehebatan para manusia? Terlebih yang bernafsu seperti wanita yang memegang senjata di tengah medan pertempuran, namun tidak memiliki keteguhan akal layaknya seorang pria.
Lihat saja bagaimana kita hanya terombang-ambing kebingungan, mencoba mennyiasati keadaan meski akhirnya ditemukan dengan ketertumpulan atau buntunya inovasi dan proses kreasi. Karena sejak keberangkatan kita hanya membawa pengharapan dengan setumpuk keoptimisan, hingga sering lupa menyisikan ruang untuk kegagalan dan kekecewaan yang sangat mungkin ditemui. Namun, pada umumnya orang hanya tertarik kepada perubahan, bukan ujian dalam menapaki perubahan. Kita lebih suka berbuka daripada berpuasa, dan itu wajar.
Lalu, kebiasaan kita adalah mencari kambing hitam atas tidak terwujudnya segala pengharapan. Kebiasaan melontarkan kesalahan daripada mengakuinya bahwasanya diri ini pun tak pernah selesai dengan urusan dholim terhadap diri sendiri. Sebuah sifat tercela yang selalu merujuk sebagai suatu tindakan atas bisikan setan atau iblis. Padahal, jika segala kesalahan yang terjadi merupakan kuasa setan, sama saja kita menyusutkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Besar. Bukankah segala sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya?
"Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)." (6:160)
Karena pada akhirnya, kita bisa lebih banyak mengambil pelajaran atau hikmah atas suatu kesalahan dibandingkan dengan kebenaran. Jadi mengherankan jika 72 golongan itu sibuk berebut kebenaran dengan simbol-simbol atau identitas kebesaran mereka? Atau diam-diam mengkultuskan sesuatu bukan selain Dia. Mungkin saja kelantangan yang sering diagung-agungkan hanyalah wujud sesembahan atas pengetahuannya sendiri. Karena sekali lagi, tidak ada korelasi kemesraan tingkah laku dan kata, tidak ada peleburan hasrat antara aku dan "Aku". Coba tanyakan pada diri sendiri, bukankah dirimu yang lebih mengetahu jawabannya?
***
Sedari awal kita tidak sadar bahwa kita terlalu banyak perhitungan dalam perniagaan terhadap untung atau rugi, nyaman tidaknya sesuatu yang mengharuskan diri berurusan dengan apa yang sering disangka masalah atau justru sebuah rahmat, salah satunya melalui pandemi. Pandemi merupakan skala besar atas kumpulan kelalaian dari diri dalam skala kecil. Jadi, kita mau menundukkan kebesaran, sedang kita sendiri belum merdeka atas diri sendiri? Lalu mengharapkan kebersamaan, sedangkan masih banyak ego-ego pribadi yang kelaparan.
Bukankah kita telah banyak menemukan qalam selama mengarungi perjalanan ini, yang mengajarkan kepada kta atas apa yang tidak kita ketahui. Kita sering membaca hingga memahami, namun enggan mengenal yang memberikan percikan cahaya itu hingga menjadi sebuah pemahaman. Kita lantas berlomba-lomba menyampaikan, tanpa mengetahui siapa yang menggerakkan jari-jemari atau lidah sehingga bisa menjadi sesuatu yang tersampaikan.
"Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup." (96:6-7)
Jadi biarkan saja mereka akan membuka atau menutup pintu, mencemaskan kedatangan atau bahagia dalam nyamannya kesendirian. Jangan menggantungkan harap kepada manusia, jika tak ingin kecewa. Namun, jangan sampai kehilangan akal untuk terus mencintai mereka, sekalipun mereka berlaku keji terhadapmu. Karena pada akhirnya, kita akan lebih banyak menuai hikmah asal kita mau menahan diri dengan sabar.
Dia Maha Memberi, bahkan sebaik-baiknya pelindung. Dia memberikan karunia yang dianugerahkan kepada yang dikehendaki, terutama atas ketulusan niat-niat tanpa tendensi beraneka ragam keinginan lahiriah. Bukankah niat itu akan sampai tujuan atau tidak tergantung kejernihan niat itu sendiri? Yang menginginkan perubahan tapi ternyata menginginkan ketenaran. Yang memberikan banyak kelebihan, tetapi mengharap kembalian. Yang merasa paling mesra dengan Tuhan, namun ternyata hanya ingin sekedar mencari perhatian manusia. Yang mendambakan perdamaian dan kesejahteraan, tetapi perilakunya banyak memantik permusuhan dan kebencian.
Dan, sangat mungkin jika aku termasuk satu diantara banyak manusia yang benar-benar melampaui batas, kan? Sedang gerbang-gerbang, pintu-pintu, atau sesuatu yang menutupi itu memang seharusnya terbuka.
12 Juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H