Dalam sinau bareng, kita pasti sudah terbiasa dengan kepulan-kepulan asap yang seringkali menghiasi suasana perjalanan malam. Rokok merupakan teman duduk yang asik terutama bagi para pria khusunya sembari menikmati secangkir kopi hitam.Â
Hal ini biasanya nampak sebagai kebiasaan untuk mengusir rasa kantuk, akan tetapi ritual tersebut sebenarnya lebih dilakukan agar lebih menjaga stabilitas kejernihan pikiran.
Bagaimana tidak? Format sinau bareng adalah ruang pembelajaran di waktu yang tidak biasa, yakni ba'da isya' sampai lewat tengah malam bahkan seringkali sampai menjelang shubuh.Â
Berbagai macam citarasa merk rokok ataupun kopi menghiasi aroma ruang sinau bareng, yang akhirnya tentu banyak mempertemukan dengan selera-selera yang baru dengan saling berbagi kenikmatan satu dengan yang lainnya. Hingga tak jarang sebuah perkenalan juga berawal dari kesukaan atas suatu hal yang sama.
Selama masa pandemi, nampak satu fenomena asik dimana ada peralihan dari rokok bungkusan ke lintingan atau sering digunakan istilah nglinting atau tingwe (nglinting dhewe).Â
Mau tidak mau, para perokok mulai harus belajar ngakali bagaimana memenuhi keinginan diri dengan keadaan/kemampuan diri. Bagi yang mulanya gengsi karena nglinting terkesan karena limitasi kondisi keuangan, bisa mengandalkan "aji mumpung" karena banyak yang mulai beralih ke budaya nglinting.
DI sisi lain, nglinting juga memberikan pelajaran tentang cara melatih kesabaran secara tidak langsung. Dari biasanya tinggal membuka bungkus rokok dan menyalakan korek api, akan tetapi nglinting mengajarkan untuk sedikit menahan diri dan ekstra usaha untuk menjadikan tembakau siap untuk dinikmati.Â
Proses untuk menemukan tembakau yang sesuai selera juga membutuhkan sedikit banyak membutuhkan percobaan berbagai variasi tembakau. Dan pada akhirnya, kita diajarkan pengenalan akan ketidakcocokan untuk menemukan satu kecocokan.
Nglinting merupakan salah satu bentuk kebiasaan kecil di antara banyaknya kebiasaan-kebiasaan lain yang mungkin juga bisa disederhanakan hingga sanggup mengendarai keadaan/kahanan. Sejatinya, manusia adalah makhluk yang sangat pintar beradaptasi dengan berbagai keadaan. Akan tetapi akhir-akhir zaman ini, kita diajarkan untuk mudah mengeluh daripada mengkompatibelkan diri dengan keadaan agar mampu menjadi man off all season.
Mbah Nun pernah menyampaikan bahwa suatu saat Indonesia ini akan menjadi salah satu pusat peradaban di dunia. Dan itu sangat memungkinkan jika dilihat dari segi nilai tentang bagaimana masyarakat Indoneia gemar prihatin dan penyabar.Â
Hingga mampu terus bertahan dengan berbagai situasi keadaan yang memecah-belah persatuan ataupun yang mengancam kerentanan perekonomian. Tentu saja, prihatin belum tentu berarti sedang dalam kondisi kekurangan secara ekonomi.
Nglinting dalam kaidah jawa juga biasa diartikan dengan memutar. Bisakah dari kebiasaan kecil "nglinting" kita belajar untuk memutar keadaan? Dari ketersempitan menjadi keluasan, kesusahan menjadi kemudahan, ketidakberdayaan menjadi kesanggupan. Layaknya racikan tembakau kering yang mesti membutuhkan proses nglinting hingga akhirnya bisa dinikmati oleh penikmatnya.
Ini merupakan sebuah perumpamaan agar lebih jeli melihat sesuatu mulai dari kebiasan-kebiasaan kecil yang ditemukan dari kehidupan sehari-hari yang sangat mungkin mengandung ayat-ayat yang tidak difirmankan.Â
Bahkan dalam firmam-Nya pun, "Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu." (2:26).Â
Kebiasaan itu akan menjadi akar keimanan yang banyak memberi pelajaran melalui pengalaman dan proses penghayatan di hati. Yang nantinya akan meminimalisir sebuah persangkalan atas pertentangan antara perkataan dan perbuatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H