Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Burung-burung yang Menari dan Tertawa

2 Juni 2020   15:52 Diperbarui: 2 Juni 2020   18:23 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan keadaan itu tak hanya terjadi dari atas ke bawah, dari bawah ke atas pun seperti itu. Lalu dimanakah Pancasila yang katanya telah menjadi pondasi kebersamaan?

Jangan-jangan, hafalan kelima asas itu tak lebih dari sebuah sesuatu yang harus diingat bukan sebagai nilai kehidupan bersama, melainkan hanya sebatas nilai formalitas belaka. Terbukti, tidak ada jaminan para pejabat atau Pegawai Negeri hafal kelima sila tersebut. Jika dalam ranah agama mungkin bisa diibaratkan, "kata-kata itu tak lebih hanya sebatas kerongkongan saja."

Adakah kta mengetahui proses kelahiran itu normal atau operasi cesar? Sehingga bisa-bisanya banyak yang menelan kata-katanya sendiri demi sebuah pencapaian hidup atas nama eksistensi dan harga diri. Tapi, disinilah nikmatnya sebuah kehidupan.

Layaknya lahirnya ketulusan cinta membutuhkan keingkaran-keingkaran yang menyebabkan luka dan pengorbanan. Tidak hanya sekali, namun bisa berkali-kali. Tidak hanya satu generasi, melainkan bisa bergenerasi-generasi.

Pertentangan dibutuhkan agar mencapai kesepakatan. Permasalahan dibutuhkan untuk pertumbuhan menuju kemenangan bersama.

Andaikata, kita bisa mengalami masa hidup yang lama dengan perbuatan yang menurut pandangan kaumnya adalah yang terbaik, tidak mungkin Dia lantas memberi peringatan, "Apakah perlu kami beritahukan kepadamu tentang yang paling rugi perbuaannya? (yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya." (18:103-104)

Jika memang Pancasila dijadikan segala pondasi segala pembangunan, segala pertentangan atau permasalahan yang muncul tentu bisa disikapi dengan kemesraan dan menghargai. Terlebih dalam kelima Pancasila itu tertanam nilai-nilai agama yang menjadi komposisi utama dalam membuat rumusan Pancasila.

Namun kenyataannya, geliat yang terjadi tak lebih dari sekedar lempar prasangka dan menabung dendam dan kebencian. Segala perbuatan dan pandangan diri dan golongan menjadi sebuah harga yang dianggap merupakan yang terbaik.

Iklim kompetisi pun tercipta, disaat mereka hanya banyak nyinyir antara satu dengan yang lain. Yang terjadi hanya saling olok-mengolok kelemahan masing-masing, bukan bagaimana mengkomunikasinnya secara verbal dan terbuka. Sedang sila-sila yang mengandung nilai agama pun tak disepakati sebagaimana mestinya. "Sehingga menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan olok-olok." (18:106)

Pada akhirnya, syukur hanya terucap bila kenikmatan itu datang. Disaat adanya kenikmatan itu disebabkan oleh adanya penderitaan.

Tapi, sediakah kita mengucap syukur saat sedang kesusahan? Katanya, kesusahan ma'al (datang bersamaan) dengan kemudahan? Lalu, kenapa hari lahir Pancasila mesti banyak? Sudahkah Pancasila digunakan sebagai landasan? Atau jangan-jangan sekarang atau beberapa saat kemudian akan mati tenggelam lagi, hingga butuh kelahiran baru lagi  tahun 2021?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun