Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diam-diam Mencintai

26 Mei 2020   19:22 Diperbarui: 26 Mei 2020   19:19 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinau Bareng CNKK di Magelang, April 2019 (dokpri)

Menjadi sebuah ketidakmungkinan ketika datang sebuah tugas untuk ikut turut serta mensyukuri seorang multi-dimensional --bisa Guru, Ulama, Kiai, Budayawan, Artis, Mbah, Ayah, dsb.-, harus menggunakan angle yang mana keberangkatan kata-kata yang akan dirangkai menjadi keindahan atas sebuah pertemuan dengan Mbah Nun.

Menjelang hari kelahiran Mbah Nun pada tanggal 27 Mei esok, ketidakmungkinan tersebut menjadi tantangan tersendiri meski terkesan mustahil. Dan jika mesti menyimpulkan seluruh angle pertemuan menjadi sesuatu yang terangkum objektif, satu-satunya cara adalah dengan cinta yang terbangun yang tentu antara subjek yang satu dengan yang lain pasti memiliki kisahnya masing-masing.

Selama ini, mungkin jamaah yang bermaiyah ibarat sedang bermain dalam sebuah ruang permainan yang besar dengan berbagai macam wahana yang menyenangkan. Jamaah maiyah memiliki kebebasan untuk memilih sendiri wahana yang menyenangkannya tanpa ada tuntutan untuk memilih salah satu. 

Mbah Nun adalah ruang tersebut dengan berbagai keluasan ilmu yang dimilikinya hingga akhirnya mampu menciptakan berbagai wahana sesuai dengan kebutuhan selera anak cucunya dalam bermaiyah.

Tapi, Emha bukanlah Emha. Mbah Nun bukanlah Mbah Nun. Bahkan beliau sendiri sering menegaskan di beberapa kesempatan sinau bareng, "Apa kalian sangka yang kalian lihat ini benar-benar saya?" Ini merupakan suatu bentuk kemungkinan bahwasanya apa yang dilihat dengan mata belum tentu benar-benar dirinya karena yang terbangun hanya angle-angle sangkaan tertentu sesuai hasil dari representasi penglihatan masing-masing. Atau hanya menikmati dari salah satu wahana yang mengasyikkan.

Sebuah penglihatan sudah pasti membutuhkan suatu pertemuan atau kehadiran dalam bentuk fisik. Namun, dalam menyambut milad Mbah Nun yang ke-67 ini, sebuah rahmat besar telah diberikan kepada seluruh penduduk jagad bumi melalui kehadiran virus Corona. Sebuah pertemuan menjadi keniscayaan yang sangat tidak mungkin bisa terealisasi, meski melalui media-media virtual sekalipun.

Kerinduan yang mungkin sudah memuncak selama beberapa bulan ini belum sanggup terobati meski beliau terkadang menyapa melalui suara-suara yang terdengar dalam edisi rutinan Mocopat Syafaat. 

Namun, hal tersebut belum mampu juga mengobati beberapa jamaah yang membutuhkan kehadiran Mbah Nun untuk segera menuntaskan rindu yang terlanjur menggebu.

Itulah mengapa tadi di awal kita mesti lebih mendalami frasa "Emha bukanlah Emha" menurut kata Sang Metiyem atau salah satu guru sastra Mbah Nun, yakni Umbu Landu Paranggi. 

Melalu penggalan frasa itu secara tidak langsung kita diajak untuk lebih mendalami Mbah Nun tidak hanya secara substansial, namun lebih menuju ke dalam keintiman-keintiman atau kedalaman batin. Yang memungkinkan sebuah hubungan lebih saling merekatkan tanpa tatap, yang lebih saling mendekatkan tanpa sapa, bahkan saling menyatukan meski tanpa kata-kata.

Hingga hubungan cinta nantinya akan mengajak untuk tumbuh ke kedewasaan. Sebuah kemandirian dituntut akan tidak hadirnya cinta, tidak hanya dalam satu dimensi penglihatan saja, namun dapat meluas ke berbagai dimensi-dimensi yang lain. 

Cinta yang mengajarkan tentang ketulusan, tidak hanya sebatas kebutuhan untuk memuaskan hasrat diri sendiri melenyapkan eksistensi ke-aku-an. Yang menyadarkan bahwa rasa cinta yang tumbuh ini juga bukan semata-mata karena diri yang menumbuhkan, melainkan ada sesuatu yang lebih besar yang menumbuhkan setiap jengkal rasa demi sebuah kemesraan penyatuan.

Jamaah maiyah mesti perlu banyak mensiasati diri agar tidak terlalu asyik bermain yang sangat memungkinkan dirinya untuk lupa atas kata-kata syukur dan terima kasih yang mesti diungkapkan. Daripada sibuk menghasud rindu, ternyata lebih memilih sibuk bersyukur karena telah dipertemukan dengan salah satu kekasihMu.

"Mbah, mungkin aku telah lupa cara untuk bersyukur hingga hanya memiliki kesanggupan untuk diam-diam mencintai. Tak sanggup kuruntuhkan mega hingga hanya mampu menapaki kekerdilan dalam kesunyian." Seperti kata beliau, "Puisi yang kusembunyikan dari kata-kata", bisa jadi cinta yang kami alami bukanlah cinta yang engkau kehendaki karena terlalu lantang. 

Tapi, biarlah kami segenap anak cucumu mengucapkan cinta dan asih dalam menyambut hari kelahiranmu yang ke-67. Ijinkan kami anak cucu maiyah membersamai perjalananmu menapaki jalan cinta yang sejati.

Magelang, 26 Mei 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun