Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Malangnya Nasib Ibu, Punya Anak "Aku"

24 Desember 2019   15:39 Diperbarui: 24 Desember 2019   15:46 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana cinta kembali mengemuka kepada Ibu di hari Ibu. Begitupun rindu, yang kembali menggebu bagi mereka yang telah ditinggal sesosok ibu. Aku hanya duduk termangu di sudut bangku yang sudah merapuh, melapuk oleh karena waktu yang selalu saja memberi sendu.

Ibu, kata-kata mereka tentang sesosok ibu tak mampu menghapus rinduku. Kenangan tentangmu tak layak buatku riuh, justru bertambah semakin layu.

Aku bingung, jika mesti bertemu dengan ibu-ibu tangguh yang mengayuh sepedanya disaat fajar belum sempat nampak menerangi jalanan.

Aku linglung, jika mesti melihat anak-anak peradaban, kau gendong di pinggiran jalan,bahkan perempatan lampu merah untuk meminta belas asih, namun justru dianggap meresahkan para pengagung kenyamanan.

Aku pun canggung, ketika ibu dengan keluasannya mampu menampung kerakusan-kerakusan anak-anakmu yang tega dengan saudaranya sendiri.

Aku seperti orang yang tak tahu malu, ketika ibu dengan keringatnya yang mengucur tersengat terik matahari di emperan jalan, masih saja aku tawar harga dagangannya demi hematnya ongkos pengeluaranku.

Aku pun didera pilu, melihatmu kesana-kemari mencari penghidupan bahkan pinjaman demi masa depan  anakmu ini, hutang yang semakin menumpuk sedang anakmu hanya mendayu-dayu semakin halu. Dengan harap ilmu yang justru mengubahnya menjadi kaku.

Kini, sesosok ibu mungkin tlah lalu. Namun selaras dengan waktu, ibu telah bertumbuh menjadi seribu, tidak hanya satu. Asihnya bermanifestasi ke tiap sudut mata memandang para perempuan atau wanita. Hingga sesekali ada sesosok ibu yang mengingatkanku agar tidak lupa akan kebahagiaanku, agar kenyamanan diriku yang nomer satu. "Tapi bahagiaku, dengan memberi kebahagiaan kepada yang lain, tak peduli aku." Jawabku.

Ibu, kau tak hanya sekedar rumah, namun telah menjelma ruang kemanapun langkah kaki menapak. Kemana aku pergi, disitu aku merasakan pulang. Memberikan kenyamanan tanpa pernah tahu diri untuk sekedar mengucap kasih. Do'a-do'a mulai mengabar, yang kutitipkan kepada sepoy angan yang berlalu-lalang di sekat akal. Memelukku, erat! "Tuhan, bolehkah sesekali kubalas pelukan itu?"

Bahkan, aku bertemu dengan ibu cendekia nan pintar mengendalikan rasa. Pada suatu waktu aku durhaka kepadanya dengan berkata, "bagaimana mungkin ibu bisa mengendalikan rasa jika kita sama sekali tak punya kuasa untuk menciptakan rasa?" Hingga suatu waktu terbukti, dimana rasa rindu yang tak pernah tau bisa tumbuh segar kepada ibu disangka-sangka seperti menagih hutang janji-janji yang membuat takut, bahkan risih.

Terkadang justru aku berfikir tentang masa lalu, sungguh malang nasib ibuku mempunyai anak sepertiku. Ketika ditawari minuman teh atau kopi, justru aku menawar segelas susu. Sang ibu pun menurutinya sekalipun stok susu dirumah kebetulan sedang habis. Ia segera mencari susu meski gerimis, hanya demi melihat  sang buah hati meringis.

Sampai sekarang, anakmu justru semakin membuat malang nasib ibu. Aku pintar mencari keuntungan, tapi menutup mata terhadap keegoisan. Aku mahir mencari perhatian, disaat sebenarnya aku hanya butuh pengakuan. Aku gesit merayu Tuhan, terlebih jika ada kepentingan. Aku menyatakan perang terhadap setan, tapi diam-diam aku bersekongkol demi kejayaan fana.

"Ibu, aku merindumu tanpa kata..."

"Aku mencintamu tanpa tatap..."

"Aku menyayangimu tanpa sapa..."

"Tuhan, jika aku membuat malang nasib ibuku, bolehkah aku menawar nasib kehidupanku dan menggantinya dengan kebahagiaan ibuku disana?"

Anak-anakmu kini semakin tidak tahu diri, menyangga zaman yang dikira sebagai kemajuan justru semakin membalikkan keseimbangan. Ibu Bumi yang semakin renta yang semestinya bisa dijaga seksama, justru dimanfaatkan semaksimal mungkin demi yang namanya kesejahteraan rakyat, yang  nyatanya hanya menyejahterakan segelintir penguasa.

Ibu. ibu semakin renta, jika aku membuat malang nasib ibu. Berilah kesempatan bagiku untuk mengasuhnya, ijinkan aku melaksanakan kewajibanku kepada yang melahirkanku, yang menjadi tempat tinggal dan berteduhku dari gelapnya hujan, yang menjadi sandaranku dari kejam dan teganya persaingan di dunia. Kulitmu yang mengeriput menjadi tanda perjuanganmu, jauhnya perjalanan yang telah kau tempuh, tangguhnya perjuanganmu melawan penghidupan.

"Tuhan, jika hanya gelisah yang dirasa ibu karena diamku, masih pantaskah aku mencintanya?"

jikalau ibu memang masih kesepian, ternyata itu memang karenaku, yang membuat malang nasib para ibu-ibuku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun