Sampai sekarang, anakmu justru semakin membuat malang nasib ibu. Aku pintar mencari keuntungan, tapi menutup mata terhadap keegoisan. Aku mahir mencari perhatian, disaat sebenarnya aku hanya butuh pengakuan. Aku gesit merayu Tuhan, terlebih jika ada kepentingan. Aku menyatakan perang terhadap setan, tapi diam-diam aku bersekongkol demi kejayaan fana.
"Ibu, aku merindumu tanpa kata..."
"Aku mencintamu tanpa tatap..."
"Aku menyayangimu tanpa sapa..."
"Tuhan, jika aku membuat malang nasib ibuku, bolehkah aku menawar nasib kehidupanku dan menggantinya dengan kebahagiaan ibuku disana?"
Anak-anakmu kini semakin tidak tahu diri, menyangga zaman yang dikira sebagai kemajuan justru semakin membalikkan keseimbangan. Ibu Bumi yang semakin renta yang semestinya bisa dijaga seksama, justru dimanfaatkan semaksimal mungkin demi yang namanya kesejahteraan rakyat, yang  nyatanya hanya menyejahterakan segelintir penguasa.
Ibu. ibu semakin renta, jika aku membuat malang nasib ibu. Berilah kesempatan bagiku untuk mengasuhnya, ijinkan aku melaksanakan kewajibanku kepada yang melahirkanku, yang menjadi tempat tinggal dan berteduhku dari gelapnya hujan, yang menjadi sandaranku dari kejam dan teganya persaingan di dunia. Kulitmu yang mengeriput menjadi tanda perjuanganmu, jauhnya perjalanan yang telah kau tempuh, tangguhnya perjuanganmu melawan penghidupan.
"Tuhan, jika hanya gelisah yang dirasa ibu karena diamku, masih pantaskah aku mencintanya?"
jikalau ibu memang masih kesepian, ternyata itu memang karenaku, yang membuat malang nasib para ibu-ibuku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H