Matahari mulai menerik pada kisarannya, sebelum angin mulai menari-nari menghempaskan apapun yang menghalangi gemulainya. Ketika aku meneduhkan raga dari kisarannya, duduk di depanku seorang lelaki setengah baya begitu lahapnya mengisi ulang energinya karena pekerjaan yang membutuhkan tenaga berlebih. Sedangkan banyak para orang tua membekali ilmu kepada anak-anaknya supaya menghindari resiko keletihan dalam bekerja, dengan harapan hasil (terutama upah) yang maksimal.
Bandingkan dengan mereka yang para intelektualis cendekiawan atau diktator negarawan yang hanya membutuhkan segelintir permainan kata-kata, sudah dapat mengantongi berkali-kali lipat dari apa yang bapak ini terima dalam satu bulan. Tidak begitu memperdilikan aktualisasi dan realisasi atas kata-kata yang mereka mainkan.
Lantas apa yang diharapkan? Supaya dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada kehidupan di sekitarnya. Agar tidak dipandang rendah oleh orang lain, karena orang tua pasti tidak tega melihat anak-anaknya direndahkan. Namun apa yang terjadi jika negara dimana mereka tinggal justru melakukan hal yang sedemikian rupa sekalipun atas nama pembangunan?
Jika kita memikirkan negara mungkin skalanya terlalu besar, terlebih masing-masing dari pribadi kita masih sangat sulit untuk menepati konsekuensi atas kata-kata yang diucapkannya. Bahkan di lingkungan yang 'katanya' paling menjungjung persaudaraan, kebersamaan, kejujuran, bahkan keterbukaan. Ternyata masih banyak juga yang justru terpeleset --karena terlalu nyaman dengan keadaan yang cair- oleh sifat nggampangke atau menganggap enteng kata-kata yang telah diucapkan.
Mengingatkan satu sama lain dalam lingkungan seperti itu pun serba salah, nanti pasti disangka terlalu perhitungan terhadap saudara sendiri, tidak empati karena kehilangan solidaritas, bahkan dianggap pelit. Sangat sedikit yang berani menerobos prasangka-prasangka yang telah sedemikian rupa untuk membangun kembali cara pandang tentang penghidupan, terlebih terus belajar meluaskan cakrawala pandangan hati tentang kehidupan itu sendiri yang sangat kompleks.
Dan kenapa kita mesti menutup mata kepada perjuangan-perjuangan yang merupakan wujud sebuah pernyataan asih kepada sesuatu yang dicintainya. Kita selalu saja mengais-ngais perhatian sedang kita enggan untuk mengapresiasi. Manusia terkadang berlebihan menyatakan kebenaran pemikiran sementaranya, disaat mereka juga selalu menjadi pengemis syafaat di setiap waku.
Adakah manusia yang tidak menjadi pengemis? Mereka hanya sering memandang pengemis sebagai seorang pemalas bahkan (maaf) dipandang sebelah mata, sedangkan mereka tidak menyadari bahwa dirinya juga hidup sebagai seorang peminta-minta. Mereka merintih-rintih kepada tuannya atas keselamatan dan kenyamanan hidupnya. Bahkan terkadang mereka berani mengancam tuannya apabila tingkat kesejahteraannya tidak diperhatikan.
Manusia hanya sering tertipu oleh egonya sendiri, bahkan mungkin sudah berada pada level dipermainkan. Manusia kebingungan atas keadaan-keadaan yang menerka begitu saja. Manusia merasa terampas haknya untuk mendapatkan kenyamanan dan keselamatan. Bahkan, manusia terkadang minder dan iri terhadap kenyamanan yang didapati oleh orang lain.
"Andai saja manusia tidak teralihkan oleh hijab-hijab yang dibangun oleh segala sistem kehidupan ini."
"Tapi mungkin jika semua menjadi baik, kehidupan tidak akan semenarik ini."
"Ya sudah, pertama-tama urus saja dirimu sendiri agar keselamatan dan kenyamananmu terwujud."
"Bagaimana mungkin aku bisa menumpuk hasil dari upaya mengemisku? Sementara bapak-bapak itu selalu mengajariku tentang kesederhanaan hidup, tentang perjuangan yang tak kenal lelah, dan terus bekerja demi orang yang dikasihinya meski dipandang sebelah mata."
"Bukankah setiap manusia sudah ditentukan kadar kekuatannya agar kompatibel dengan ujian yang sedang dihadapi?"
"Sudah pasti, hanya saja pekerjaan mengemisku lebih banyak menghasilkan cinta daripada hasil yang sering mereka sebut uang. Aku selalu meminta dan terus meminta syafaat seakan hanya itu senjata utama yang bisa diandalkan agar selalu bisa berfikir jernih memandang kehidupan yang sesungguhnya penuh cinta dan kemesraan."
"Bukankah kita tidak lebih dari sekedar pengemis syafaat yang saling bertatap muka?" Imbuhnya.
Sudah seharusnya mendung itu menyapa dengan segera, memberikan semilir yang menghempaskan kegerahan yang sedari tadi telah dinikmati. Meski kita tidak pernah memahami, apakah mendung itu datang menyampaikan keberkahan atau kehancuran?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H