Mohon tunggu...
Taufan Satyadharma
Taufan Satyadharma Mohon Tunggu... Penulis - Pencari makna

ABNORMAL | gelandangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maiyah sebagai "Prototipe" Peradaban Masa Depan

12 Desember 2019   16:31 Diperbarui: 12 Desember 2019   16:44 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Maiyah itu tidak seperti itu saja, yaitu tidak hanya sekedar kumpul-kumpul minum kopi dan selesai begitu saja." Kita mesti mengatahui mau gimana? Skema dasar seperti apa yang telah dipersiapkan? Hal ini sangat penting untuk bisa melihat arah maiyah? Benar atau tidak?

Mas Sabrang mengatakan tujuan primer kita dalam melakukan maiyah, yaitu mengingatkan kita akan sangkan paran ing dumadi jika dilihat secara personal. Sedangkan tujuan sekundernya kalau kita bisa, sebanyak mungkin dapat menjadi orang yang bermanfaat. 

Hal ini bukan berarti bertujuan agar menjadi maiyah. Karena dalam ranah yang sekunder memiliki hubungan dengan stabilitas sosial, seperti masalah keamanan, ngelih/luwe/lapar,  pun dengan kesejahteraan. Dengan tendensi seperti itu, lantas bagaimana seseorang mau diajak untuk berfikir?

Apa yang dilakukan disini,menyusun strategi ataupun rencana sedemikian rupa, merupakan sebuah upaya untuk mengkondisikan manusia kedepan. Setidaknya agar dapat sedikit-sedikit belajar mencari fadhilah atau keahliannya secara personal. 

Sedangkan sebagai suatu simpul maiyah, kita harus belajar menjadi lebih luas atau inklusif. Dengan landasan sifat yang berdaulat dan kooperatif. Karena maiyah sendiri seperti yang pernah dikatakan oleh Mbah Nun,merupakan prototype dari peradaban masa depan.

"Semakin jauh kita menarik rentang waktu sejarah, maka akan semakin jauh pula kita akan sanggup memprediksi masa depan." Ketika dituntut untuk mencermati sejarah peradaban, benang merah yang dari setiap peristiwa adalah tentang peningkatan kompleksitas masalah. Setiap kompleksitas tersebut menurut Mas Sabrang membutuhkan jawaban yang lebih kompleks dari zaman sebelumnya.

Untuk menjawab kompleksitas tersebut, kita mesti belajar mengenali akar permasalahan. Apa yang dibangun Simbah sendiri sudah tidak kompatibel pada zamannya, karena langsung berangkat dari akarnya. Sehingga fenomena pejalan maiyah yang mengalami kesunyian sampai keterasingan menjadi situasi yang memang haru dihadapi, bahkan mesti ditabrak. Karena di maiyah, kita langsung mempelajari hakikat.

Lantas bagaimana agar sesuatu yang tidak kompatibel tersebut diubah agar menjadi sesuatu yang kompatibel? Jawaban dari Mas Sabrang adalah hijrah. Jika kita ibarat seekor unta, maka kita mesti menemukan unta-unta di padang pasir yang sangat luas itu dengan mengenali diri sendiri. Sampai kita menemukan bahwa ternyata, kita adalah sumber mata air tersebut. Perumpamaan ini mesti dipelajari agar kita menjadi manusia yang berkualitas.

Menjawab Kompleksitas sebagai Movement Maker
Jangan lupa, maiyah tidak hanya berhenti disini. Maiyah tercipta untuk menjawab kompleksitas maslah yang terus berkembang di setap zamannya. Maiyah sendiri memiliki peran untuk menjembatani ruang antara hakikat menuju makrifat, yang akan mengantarkan ke peradaban masa depan. 

Tentu bagi orang awan, apa yang menjadi pembasahan merupakan sesuatu yang absurd. Terkeceuali bagi mereka yang memahami zaman sebagaimana maiyah selama ini mencoba menerjemahkannya.

Dari situ akan timbul berbagai macam gagasan, bahkan di dalam diri maiyah itu sendiri. Oleh karena itu, dibutuhkan wisdom atau kebijaksanaan untuk memahami gagasan mana yang lebih bagus untuk diterapkan. Perkawinan ide atau gagasan disini sangat penting karena bertujuan demi kebaikan bersama. Agar tidak pukul-pukulan dalam memutuskan sebuah ide yang akan dipilih. Tentu saja, hal ssperti ini, terutama masalah legowo atau keluasan hati harusnya sudah dimiliki oleh setiap pejalan maiyah.

Kerana dalam gagasan itu sendiri, semua pasti menuju pada kebenaran yang ingin dijadikan sebagai sebuah pegangan. Kebenaran itu sendiri menurut Mas Sabrang dibagi menjadi 2, yaitu kebenaran koheren atau kebenaran yang didapat dari titik-titik yang saling terkait; dan kebenaran koresponden, yaitu  kebenaran yang didapat dengan membubuhkan bukti yang nyata. 

Oleh karena itu dalam hal perebutan kebenaran, kita mesti memberi ruang yang besar agar mampu menampung segala jenis manusia. Dan menurut Mas Sabrang, "semua pasti salah, hanya belum menyadari kesalahannya."

Dan semua hanyalah permasalahan "trust distribution", yaitu bagaimana rasa percaya itu tercipta antara satu dengan yang lain. Terlebih jika sudah berhubungan dengan urusan uang. Siapa yang membela ilmu? siapa yang membela keadilan? Karena pada akhirnya semua itu juga akan kalah dengan kekuatan uang.

Dengan masalah trust ditribution yang kemudian menciptakan berbagai macam sistem untuk mengantisipasi permasalahan, dengan harapan mampu untuk menjadi tulang punggung society. 

Namun melihat fenomena zaman yang telah terjadi, yang dibutuhkan bukan sekedar revolusi, namun lebih ke evolusi. Karena ternyata, sistem-sistem yang diciptakan di dunia tak lebih hanya sekedar illusi, tergantung kuantitas yang percaya kepada sistem-sistem itu hingga akhirnya dianggap kebenaran.

Kita seharusnya tidak autisme dalam bermaiyah, namun memaksimalkan peran inklusif dalam bermaiyah. Penggiat mesti saling dorong untuk kebaikan, bukan hanya bertemu hanya pada saat rutinan. 

Simpul seharusnya tidak berjalan sendiri-sendiri, tapi lebih membentuk support system untuk mengerjakan target-target tertentu. Stereotipe penggiat sebagai panitia pengajian meski diidealkan menjadi penggiat adalah movement maker.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun